This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Selasa, 04 Mei 2010

PENGERTIAN DAN MACAM LATAR / SETTING

Pengertian Latar
1.    Tempat waktu ataupun suasana terjadinya peristiwa yang dialami dalam cerpen tersebut.
(http://mystorydno.blogspot.com/2009/02/d-latarsetting.html)
2.    Sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. (Abrams, 1981:175).
3.    Latar merupakan background sebuah cerita, tempat kejadian, daerah penuturan atau wilayah yang melingkupi sebuah cerita.
(http://www.noviasyahidah.com/hanya-teori-kepenulisan-latar-setting)
4.    Tempat, waktu , suasana yang terdapat dalam cerita. Sebuah cerita harus jelas dimana berlangsungnya, kapan terjadi dan suasana serta keadaan ketika cerita berlangsung.
(http://www.crayonpedia.org/mw/Menjelaskan_Unsur_-_Unsur_Intrinsik_Cerpen_12.1)
5.    Tempat dan waktu (di mana dan kapan) suatu ceritera terjadi. Yang harus diperhatikan dalam latar adalah tidak hanya segi fisik dari latar itu. Latar sebenarnya memberikan informasi yang sangat penting tentang keadaan masyarakat dimana ceritera itu terjadi pada waktu itu.
(http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080531085038AARSBiq)
6.    Segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, suasana, dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. (Abdurrosyid, 2009)

>> 99 Hari Therapy Lepas Kacamata Tanpa Operasi -klik disini << 


Macam-macam Latar
1. Latar Tempat
Latar tempat menggambarkan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita. Penggambaran latar tempat ini hendaklah tidak bertentangan dengan realita tempat yang bersangkutan, hingga pembaca (terutama yang mengenal tempat tersebut) menjadi tidak yakin dengan apa yang kita sampaikan.
2. Latar Waktu
Latar Waktu menggambarkan kapan sebuah peristiwa itu terjadi. Dalam sebuah cerita sejarah, hal ini penting diperhatikan. Sebab waktu yang tidak konsisten akan menyebabkan rancunya sejarah itu sendiri. Latar waktu juga meliputi lamanya proses penceritaan
3. Latar Sosial
Latar sosial mencakup hal-hal yang berhubungan dengan kondisi tokoh atau masyarakat yang diceritakan dalam sebuah cerita. Termasuk di dalamnya adat istiadat, keyakinan, perilaku, budaya, dan sebagainya. Latar sosial sangat penting diketahui secara benar sebagaimana latar tempat, sebab hal ini berkaitan erat dengan nama, bahasa dan status tokoh dalam cerita.
4. Latar Emosional
Latar emosional lebih sering muncul saat membangun konflik, hingga ia memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah cerita. Ada cerita yang secara keseluruhan hanya bercerita tentang konflik emosi seorang tokoh, hingga latar cerita pun total berupa emosi. Latar emosi ini biasanya terbaca melalui dialog-dialog, perenungan dan kecamuk perasaan si Tokoh.

Rabu, 28 April 2010

APLIKASI TEORI BELAJAR BAHASA Tentang PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA

APLIKASI TEORI BELAJAR BAHASA
Tentang
PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA


Pemerolehan Bahasa Pertama Pada Anak
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris acquisition, yakni proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language) (Dardjowidjojo, 2008:225). Istilah ini dibedakan dari pembelajaran yang merupakan padanan dari istilah learning. Dalam pengertian learning proses itu dilakukan dalam tatanan yang formal, di belajar di kelas dan diajar oleh seorang guru. Dengan demikian, proses dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya disebut pemerolehan bahasa, sedangkan proses dari orang (umumnya dewasa) yang belajar di kelas disebut pembelajaran bahasa.
Menurut Chomsky, setiap anak mampu menggunakan suatu bahasa karena adanya pengetahuan bawaan yang secara genetik telah ada dalam otak manusia. Lenneberg dalam Hipoteses Umur Kritis-nya menyatakan bahwa pertumbuhan bahasa seorang anak itu terjadwal secara biologis (Dardjowidjojo, 2000: 301).
Proses kita mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) (anak) terjadi bila kita yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya.
Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Pemerolehan bahasa pertama (B1) sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis menyatakan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif’ yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa.
Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupannya untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia . Kemampuan berbahasa anak yang normal sama dengan anak-anak yang cacat. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia, seperti bagian otak tertentu yang mendasari bahasa dan topografi korteks yang khusus untuk bahasa. Tingkat perkembangan bahasa anak sama bagi semua anak normal; semua anak dapat dikatakan mengikuti pola perkembangan bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi. Kekurangan hanya sedikit saja dapat melambangkan perkembangan bahasa anak. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Bahasa bersifat universal. Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakatSejak dini bayi telah berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya. Seorang ibu seringkali memberi kesempatan kepada bayi untuk ikut dalam komunikasi sosial dengannya. Kala itulah bayi pertama kali mengenal sosialisasi, bahwa dunia ini adalah tempat orang saling berbagi rasa.
Pemerolehan bahasa anak terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa telah memperoleh bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Orang tua (orang dewasa) umumnya tidak merasakan bahwa menggunakan bahasa merupakan suatu keterampilan yang luar biasa rumitnya. Pemakaian bahasa yang terasa lumrah karena memang tanpa diajari oleh siapa pun seorang bayi akan tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan bahasanya. Dari umur satu tahun sampai dengan umur dua tahun seorang bayi mulai mengeluarkan bentuk-bentuk kata bahasa yang telah diidentifikasi sebagai kata. Ujaran satu kata ini tumbuh menjadi ujaran dua kata dan akhirnya menjadi kalimat yang kompleks menjelang umur empat atau lima tahun. Setelah umur lima tahun, seorang anak mendapatkan kosa kata dan kalimat yang lebih baik dan sempurna.

Melalui bahasa khusus bahasa pertama (B1), seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. B1 menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendirian, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang.
Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau gramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai B1. Agar seorang anak dapat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak.
Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit apabila ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna. Setelah itu sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun terbentuk.
Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan.
Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua khususnya ibu) dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian.
Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya.
Walaupun kita dimana berada kita pasti masih menggunakan bahasa pertama kita untuk berkomunikasi dengan masyarakat setempat. oleh sebab itu bahasa pertama adalah bahasa kehidupan kita. Bahasa dimana kita memperoleh pertama dan di bawah kemana saja.
Pada perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak yang lebih impulsif daripada anak yang lain, lebih refleksif dan berhati-hati, cenderung lebih jelas dan nyata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Di masa ini setiap bahasa anak akan mencerminkan kepribadiannya sendiri. Siswa taman kanak-kanak memiliki rasa bahasa, bagian-bagiannya, hubungannya, bagaimana cara kerjanya sehingga mereka mampu mengenal serta mengapresiasi bahasa yang dipakai dalam cara yang mengagumkan serta tidak lazim. Selama masa sekolah anak mengembangkan dan memakai bahasa secara unik dan universal. Pada saat itu anak menandai atau memberinya ciri sebagai pribadi yang ada dalam masyarakat itu.


Makalah Evaluasi Pengajaran

BAB I
PENDAHULUAN


1.1LATAR BELAKANG
Dua prinsip dasar permasalahan dalam penilaian adalah menentukan apakah sebuah tes telah mengukur apa yang hendak diukur dan apakah sebuah tes telah tepat digunakan untuk membuat suatu keputusan tentang pengambilan tes. Mungkin saja para pengembang tes berpendapat bahwa tes matematika misalnya dapat memperkirakan kemampuan seseorang dalam fisika. Seorang guru dapat berpendapat bahwa kemampuan seseorang dalam membaca misalnya akan berpengaruh terhadap semua nilai kenaikan kelas. Tentu saja, pendapat tersebut harus dibuktikan dengan data-data yang mendukung. Sebagai contoh apabila skor fisika berkolerasi positif dengan skor matematika, atau skor kemampuan membaca berkolerasi dengan semua skor hasil kenaikan kelas, maka sangat masuk akal untuk membuat kesimpulan bahwa tes matematika atau tes kemampuan membaca merupakan predikator yang valid yang dapat digunakan untuk memprediksi kemampuan seseorang.
Diskusi tentang penilaian berbasis kelas senantiasa berkaitan dengan validitas dan reliabilitas. Reliabilitas berkaitan dengan sejauh mana tes yang diberikan ajeg dari waktu ke waktu. Artinya, reliabilitas berkaitan dengan keajegan suatu tes. Suatu tes dikatakan ajeg “apabila” dari waktu ke waktu menghasilkan skor yang sama atau relatif sama.
1.2BATASAN MASALAH
Baik dan buruknya suatu tes atau suatu alat evaluasi dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda. Tapi di sini kami membatasi pembahasan ini hanya pada pembahasan validitas dan reliabilitas.

1.3RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari latar belakang diatas maka dianggap perlu untuk merumuskan dan memaparkan masalah guna mengarahkan penyusunan ini pada sistematikanya. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.Apa definisi dari Validitas?
2.Apa definisi dari Reliabilitas?
3.Sebutkan macam-macam Validitas!
4.Sebutkan macam-macam Reliabilitas!

1.4TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah supaya mahasiswa mengerti tentang:
1.Definisi Validitas
2.Definisi Reliabilitas
3.Macam-macam Validitas
4.Macam-macam Reliabilitas


BAB II
PEMBAHASAN

2. 1VALIDITAS
Suatu alat pengukur dapat dikatakan alat pengukur yang valid apabila alat pengukur tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur secara tepat. Misalnya barometer adalah suatu alat yang valid untuk mengukur tekanan udara. Tapi alat ini tidak valid untuk mengukur suhu. Demikian pula dalam alat-alat evaluasi. Suatu tes hasil belajar dapat dikatakan tes yang valid apabila ts tersebut betul-betul dapat mengukur hasil belajar. Jadi bukan sekedar mengukur daya ingatan atau kemampuan bahasa saja.
2.1.1Pengertian
Validitas adalah suatu konsep yang berkaitan dengan sejauh mana tes telah mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas sebuah tes selalu dibedakan menjadi dua macam yaitu validitas logis dan validitas empiris. Validitas logis sama dengan analisis kualitatif terhadap sebuah soal.
Nunnaly (1972) menyatakan bahwa pengertian validitas senantiasa dikaitkan dengan penelitian empiris dan pembuktian-pembuktiannya bergantung kepada macam validitas yang digunakan. Validitas tes perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas tes dalam kaitannya mengukur hal yang seharusnya diukur. Menurut Anastasis (1988) validitas adalah suatu tingkan yang menyatakan bahwa suatu alat ukur telah sesuai dengan apa yang diukur. Sedangkan Gronlund (1985) mengatakan bahwa validitas berkaitan dengan hasil suatu alat ukur, menunjukkan tingkatan, dan bersifat khusus sesuai dengan tujuan pengukuran yang akan dilakukan. Para pengembang tes memiliki tanggung jawab dalam mambuat tes yang benar-benar reliabel dan valid. Oleh karena itu validitas dapat digunakan dalam memeriksa secara langsung seberapa jauh suatu alat telah berfungsi.

2.1.2Macam-macam Validitas
Validitas suatu tes dapat ditinjau dari beberapa segi, seperti yang akan diuraikan di bawah ini.
Validitas ramalan (Predictive validity)
Validitas ramalan artinya ketepatan (kejituan) daripada suatu alat pengukur ditinjau dari kemampuan tes tesebut untuk meramalkan prestasi yang dicapainya kemudian. Misalnya suatu tes hasil belajar dapat dikatakan mempunyai validitas ramalan yang tinggi, apabila hasil yang dicapai oleh siswa dalam tes tersebut betul-betul dapat meramalkan sukses tidaknya siswa tersebut dalam pelajaran-pelajaran yang akan datang. Cara yang digunakan untuk menilai tinggi rendahnya validitas ramalan ini ialah dengan jalan mencari kolerasi antara nilai-nilai yang dicapainya kemudian.
Apabila koefisien korelasi yang diperoleh cukup tinggi, maka berarti validitas ramalan tes tersebut cukup tinggi. Sebaliknya pula apabila koefisien kolerasi yang diperoleh rendah, maka berarti pula validitas tes tersebut rendah.
Validitas bandingan (Concurent validity)
Validitas bandingan artinya kejituan daripada suatu tes dilihat dari kolerasinya terhadap kecakapan yang telah dimiliki saat kini secara riil. Perbedaan antara validitas ramalan dengan validitas bandingan ialah dilihat dari segi waktunya.
Cara yang digunakan untuk menilai validitas bandingan ialah dengan jalan mengkolerasikan hasil-hasil yang dicapai dalam tes tersebut dengan hasil-hasil yang dicapai dalam tes tersebut dengan hasil-hasil yang dicapai dalam tes yang sejenis yang telah diketahui mempunyai validitas yang tinggi (misalnya tes standar). Tinggi rendahnya koefisien kolerasi yang diperoleh menunjukkan tinggi rendahnya validitas tes yang akan kita nilai kualitasnya.
Validitas isi (Content validity)
Validitas isi artinya kejituan daripada suatu tes ditinjau dari isi tes tersebut. Untuk menilai apakah suatu tes memiliki validitas isi atau tidak dapat kita lakukan dengan jalan membandingkan materi tes tersebut dengan analisis rasional yang kita lakukan terhadap bahan-bahan yang seharusnya digunakan dalam menyusun tes tersebut.
Validitas susunan(Construct validity)
Validitas susunan artinya kejituan daripada suatu tes ditinjau dari susunan tes tersebut.

2.2RELIABILITAS
Pengukuran dalam sains maupun pengukuran dalam ilmu sosial seperti dalam penilaian kelas tidak pernah ajeg. Ketika kita melakukan pengukuran, baik untuk sains maupun untuk ilmu sosial lebih dari satu kali, pasti ada sedikit perbedaan. Semisal ketika seseorang mengukur tinggi beberapa kali pada hari yang sama akan dihasilkan angka yang berbeda.
2.2.1Pengertian
Pengukuran merupakan proses untuk memperoleh skor per-orangan sehingga attribute yang diukur benar-benar menggambarkan kemampuan mereka. Reliabilitas adalah hal yang sangat penting dalam menentukan apakah tes telah menyajikan pengukuran yang baik.
2.2.2Macam-macam Reliabilitas
Suatu tes dapat dikatakan tes yang reliabel apabila tes tersebut menunjukan hasil-hasil yang mantap. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencari taraf reabilitas daripada suatu tes.
Teknik Ulangan
 Mencari rebilitas suatu tes dengan teknik ulangan ialah dengan jalan memberikan tes tersebut kepada sekelompok siswa dalam dua kesempatan yang berlainan.
Teknik bentuk pararel
Dalam teknik ini digunakan dua buah tes yang sejenis (tetapi tidak identik), mengenai isinya; proses mental yang diukur, tingkat kesukaran, jumlah item dan aspek-aspek yang lain.
Keuntungan teknik pararel:
Item-item yang digunakan tidak sama, sehingga pengaruh latihan dapat dihindarkan.
Tidak adanya tenggang waktu maka perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tes boleh dikatakan tidak ada. Misalnya faktor situasi tes, administrasi, pengawasan dan sebagainya.
Tehnik belah dua
Dalam tehnik ini, tes yang telah diberikan kepada sekelompok subjek dibelah menjadi 2 (dua) bagian. Ada dua prosedur yang dapat digunakan untuk membelah dua suatu tes, yaitu:
Prosedur ganjil genap artinya seluruh item yang bernomor ganjil dikumpulkan menjadi satu kelompok, dan seluruh item yang bernomor genap menjadi kelompok yang lain.
Prosedur secara random, misalnya dengan jalan lotre, atu dengan jalan menggunakan tabel bilangan random.
Koefisien korelasi yang diperoleh dari kedua belahan itu menunjukkan reliabilitas dari sebagian tes.
Untuk mencari reliabilitas seluruh tes digunakan rumus Spearman Brown sebagai berikut:


Keterangan:
rn    =    Koefisien korelasi seluruh tes
N    =    Perbandingan antara panjang tes seluruhnya dengan panjang tes yang dikolerasikan
r12    =    Koefisien kolerasi antara sebagian tes dengan bagian tes lainnya

Contoh:
Suatu tes terdiri dari 50 item. Secara random diambil 25 item sebagai belahan pertama dan 25 item sebagai belahan kedua. Skor yang dicapai oleh pengikut tes pada kedua belahan tersebut dikolerasikan. Koefisien kolerasi yang diperoleh antara kedua belahan tersebut adalah 0,627. Maka koefisien kolerasi seluruh tes dapat dicari sebagai berikut.
rn    =    N.r12
       1 + (N-1) r12
         50
         25
    =        
         1 + (         - 1 ) x 0,627

   
    =


    =

   
    =      0,771



   
BAB III
PENUTUP


3.1Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan penjelasan pada bab-bab terdahulu, dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Pengertian dari Validitas adalah suatu konsep yang berkaitan dengan sejauh mana tes telah mengukur apa yang seharusnya diukur.
Macam-macam Validitas:
Validitas ramalan (Predictive validity)
Validitas bandingan (Concurent validity)
Validitas isi (Content validity)
Validitas susunan(Construct validity)
Pengertian dari Reliabilitas adalah hal yang sangat penting dalam menentukan apakah tes telah menyajikan pengukuran yang baik.
Macam-macam Reliabilitas:
Teknik Ulangan
Teknik bentuk pararel
Tehnik belah dua

3.2Saran
Dari penyusunan makalah ini kami berharap dapat bermanfaat dan bagi lingkungan akademis ini, khususnya lembaga STKIP PGRI Jombang dan khalayak atau instansi yang terkait pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Nurkancana, Wayan & Sunartana, PPN. 1990. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Usaha Nasional.
Surapranata, Sumarna. 2004. Analisis, Validitas, Reliabilitas dan Interpretasi Hasil Tes Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT. Remaja.

Makalah Ketegori Morfologi

BAB I
PENDAHULUAN


1.1Latar Belakang
Bahasa Indonesia mengenal pengelompokan kosa dalam bentuk kelas kata. Tata bahasa Indonesia banyak pendapat para mengenai jumlah dan jenis kelas kata. Kelas kata terdiri dari seperangkat kategori morfologis yang tersusun dalam kerangka sistem tertentu yang berbeda dan sistem kategori morfologis kelas kata lain. Kategori morfologis adalah sederetan kata yang memiliki bentuk gramatikal dan makna gramatikal yang sama. Setiap kategori morfologis itu terbentuk oleh prosede morfologis tertentu. Prosede morfologis adalah pembentukan kata secara sinkronis. Prosede morfologis itu ada dua macam yaitu derivasi dan intleksi. Derivasi adalah prosede morfologis yang menghasilkan kata-kata yang makna leksikalnya berbeda dari kata pangkal pembentuknya. Sebaliknya, infleksi menghasilkan kata-kata yang bentuk gramatikalnya berbeda-beda, tetapi leksemnya tetap seperti pada kata pangkalnya.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka timbul masalah yang akan dibahas adalah, apa saja kategori Morfologi Kelas Kata Bahasa Indonesia serta perbedaannya.

1.3Tujuan Rumusan masalah
Dengan dibuatnya makalah ini, penyusun berharap agar pembaca dapat mengetahui kategori Morfologi Kelas Kata Bahasa Indonesia dapat membedakannya.
 
BAB II
ANALISIS DATA


2.1Kelas Nomina
Untuk menentukan suatu kata termasuk nomina, digunakan penanda valensi sintaktis karena perangkat kategori morfologis pembangun kerangka sistem morfologi nomina itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama, yaitu (1) mempunyai potensi berkombinasi dengan kata bukan, (2) mempunyai potensi didahului oleh kata di, ke, dari, pada.
Kelas nomina yang ditemukan dan data terdiri dan: (1) nomina murni, yakni nomina yang tidak berasal dari kelas kata lain, (2) nomina deverbal, yakni nomina yang terbentuk dari verba.
2.1.1Nomina Murni
Nomina murni terdiri dari nomina dasar (monomorfemis) dan nomina turunan (polimorfemis). Nomina turunan yang terbentuk dari kata-kata nomina disebut nomina denominal.
Nomina Dasar
Nomina murni berbentuk dasar yang ditemukan pada data ada lima macam yaitu:
Contoh:    anak, baju, kepala, orang, nasi rumah, pakaian, pasar, perut, piring, plastik, rejeki, salak, logam lengan, lantai, lekaki, kursi, kota, panggung, kilometer, kelas, kaos, jalan, huja, gerimis, gelas, gambar, buah, ujung, uang, tempat, televisi,teh, tangan, tamu, tali, sisi, sepatu, wong, bulan, mata,
Nomina Denominal
Nominal denominal yang ditemukan pada data, terdiri dari beberapa kategori morfologis. Semuanya terbentuk dengan denvasi, berpangkal pada nomina dasar, yakni:
Kategori D-an.’
Kategori ini menyatakan makna ‘daerah/wilayah/komplek/kurnpulan sesuatu yang tersebut pada pangkal pembentukan’. Contoh: pakaian,
Kategori D-an”
Kategori ini menyatakan makna ‘hasil’. Contoh: ikatan, sebutan
Kategori se-D
Kategori ini menyatakan makna ’satu”. Contoh: sebatangkara
Kategori D-D1-an
Kategori ini menyatakan makna ’seperti’. Contoh: orang-orangan
Kategori per-D-an’
Kategori ini menyatakan makna “hal’ . Contoh: perhatian
Kategori ke-D-an’
Kategori ini menyatakan makna “hal’ . Contoh:kesempatan
Kategori pcng-D-an
Kategori ini menyatakan makna ‘proses’. Contoh: pengalaman
2.1.1Nomina Transposisi
Dari data nomina transposisi tidak ditemukan dalam kartu kata

2.2Kelas verba
Untuk menentukan suatu kata termasuk verba, digunakan valensi sintaktis karena perangkat kategori pembangun kerangka sisteni morfologi verba itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama, yaitu mempunyai; potensi berkombinasi dengan kata: tidak, sudah, sedang, akan, baru, telah, belum, mau, hendak,
Kelas verba yang ditemukan pada data terdiri dari
(1) verba murni, yakni verba yang tidak berasal dari kelas kata lain,
(2) verba denominal, yakni verba yang terbentuk dari nomina,
(3) verba deadjektival, yakni verba yang terbentuk dan adjektiva,
(4) verba denuineral, yakni verba yang terbentuk dari numeralia, dan
(5) verba depronominal, yakni verba yang terbentuk dari pronomina.
a. Verba Murni
Verba murni terdiri dari verba dasar (monomorfemis) dan verba tur. (polimorfemis). Verba turunan yang terbentuk dan kata-kata verba disebut verba diverbal.
Verba Dasar
Verba murni, berbentuk dasar yang ditemukan pada data ada yaitu: ada, bangkit, pergi, puasa, pulang, balik, makan, mampir, datang, ucap, ubah, turun, tinggal, terima, singgah ,aman ,
Verba Deverbal
Verba deverbal yang ditemukan pada data, terdiri dari beberapa kategori morfologis, yaitu:
1) Kategori di-D
Kategori ini menyatakan makna ‘tindakan disengaja berfokus sasaran”. Contoh: diangkat,  verba 1
2) Kategori ter-D”
Kategori ini menyatakan makna “dapat di’.
Contoh: tersenyum  verb 1
3) Kategori meng-D
Kategori ini menyatakan makna ‘tindakan yang disengaja berfokus pelaku’.
Contoh: menyeret, menempel, menukar, mengangguk,memakai, menuju, meniru, mengangkat, memakai  verba 1
4) Kategori meng-(D-i)
Kategori ini menyatakan makna ‘lokatif.
Contoh: menyikapi, mempunyai  verba 2
5) Kategori meng-(D-kan)
Kategori ini menyatakan makna ‘benefaktif/direktif
Contoh: meneruskan, menyilakan, menyebabkan  verba 1
6) Kategori ber-D-an
Kategori ini menyatakan makna ‘malakukan perbuatan berlangsung lama, bisa sendiri atau dengan orang lain’.
Contoh: berpandangan  verba 2
7) Kategori ber-D
Kategoii ini menyatakan makna ‘tindakan bcrlangsung lama’.
Contoh: berakhir, berada, berteduh  verba 2,
Kategori meng-D
Kategori ini menyatakan makna ‘proses/keadaan’.
Contoh: melompat verba 2
b. Verba Transposisi
Verba Denominal
Verba denominal yang ditemukan pada data meliputi enam kategori morfologis, yaitu.
1) Kategori meng-D
Kategori ini diderivasikan dari nomina kategori D melalui derivasi zero sehingga terbentuk verba kategori D yang menyatakan makna ‘tindakan yang disengaja berfokus pelaku’.
Contoh: menutup, meningkat  verba I
2) Kategori meng-(D-i)
Kategori ini berasal dari nomina kategon D kemudian dMenvasikan verba kategori D-i yang maknanya ‘lokatif. Contoh. menangani  verba 2
3) Kategori di-(D-i)
Kategori ini berasal dari nomina kategori D kemudiun diderivasikan menjadi verba kategori D-i yang mempunyai makna ‘kausatif.
Contoh: ditandatangani  verba 2
4) Kategori meng-(D-kan)
Kategori ini berasal dari nomina kategori D kemudian diderivasikan menjadi verba kategori D-kan yang menyatakan makna ‘kausatif.
Contoh: rnerupakan  verba 2
5). Kategori di-(D-kan)
Kategori berasal dari nomina kategori D kemudian diderivasikan menjadi verba kategori D-kan yang menyatakan makna ‘kausatif.
Contoh: disebutkan, dimanfaatkan, disimpulkan, dilaksanakan, dilakukan  verba 2
6) Kategori ber-D
Kategori ini diderivasikan dari nomina kategori D dan menyatakan makna ‘tindakan berlangsung lama’.
Contoh: bertekad verba 2
Verba Deadjektival
Verba deadjektival yang ditemukan pada data, meliputi dim macam kategori morfologis, yaitu:
1) Kategori meng-(D-i)
Kategori ini berasal dari adjektiva kategori D kemudian diderivasikan menjadi verba kategori D-i yang menyatakan makna ‘kausatif.
Contoh: menjiwai, menghargai, menanggapi  verba 2
2) Kategori meng-(D-kan)
Kategori ini berasal dari adjektiva kategori D kemuadian diderivasikan menjadi verba kategori D-kan, yang menyatakan makna ‘kausatif.
Contoh: melaksanakan menyenangkan, melanjutkan  verba 2
Verba Demimeral
Dari data hanya ditemukan salu kalegori morfologis verba denumeral, yaitu kategori meng-D, yang diderivasikan dari numeralia bentuk dasar yang menyatakan makna ‘proses/keadaan’.
Contoh: menyeluruh -» verba 2
Verba Depronominal
Dari data hanya ditemukan satu kategori morfologis verba depronominal, yaitu kategori meng-(D-i), yang berasal dari pronomina bentuk dasar kemudian diderivasikan menjadi verba kategori D-i yang menyatakan makna ‘repetitif. Contoh: mengakui —>• verba 1
2.3Kelas Adjektiva
Untuk menentukan suatu kata termasuk adjektiva, digunakan valensi sintaktis karena perangkat kategori morfologis pembangun kerangka sistem morfologi adjektiva itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama yaitu mempunyai potensi berkombinasi dengan kata: sangat, agak, paling, amat, sekali,
Kelas adjektiva yang ditemukan pada data hanya satu kategori morfologis, yaitu berupa adjektiva bentuk dasar yang terdiri dari:
Contoh: apes, aman, akrab, takut, basah, banyak, baik, bodoh, cukup, kerdil, salam, suka, sudah, tersinggung, berwibawa, terlalu, spona, serius, sering, cantik, tenang,

2.4Kelas Numeralia
Untuk menentukan suatu kata lermasuk numeralia, digunakan valensi sintaktis karena perangkat kategori morfologis pembangun kerangka sistem morfologis numeralia itu ditandai oleh valensi: sintaktis yang sama yaitu dapat bergabung dengan nomina.
Kelas numeralia yang ditemukan pada data hanya ada satu macam yaitu nrmeralia murni. Adapun yang dimaksud numeralia murni adalah numeralia yang tidak berasal dari kelas kata lain. Numeralia murni ini terdiri dari numeralia dasar
monomorfemis) dan numeralia tunman (polimortemis). Numeralia turunan yang terbentuk dari kata-kata numeralia disebut niimeralia denumeral.
a. Numeralia Dasar
Numeralia murni berbentuk dasar yang ditemukan pada data ada dua macam, yaitu:
Contoh: sebuah, sederet, dua, tujuh, sembilan, setiap, seorang,
b. Numeralia Denumeral
Numeralia denumeral tidak ditemuka pada data kartu kata,

2.5Kelas Adverbia
Untuk menentukan suatu kata termasuk adverbia, digunakan valensi sintaktis karena perangkat kategori morfologis pembangun kerangka sistem morfologi adverbia itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama yaitu dapat bergabung dengan verba.
Kelas adverbia yang ditemukan pada data hanya ada satu kategori morfologis, yaitu berupa adverbia bentuk dasar yang terdiri dari:
Contoh: tak, telah, akan, baru, sudah, sedang, saja, juga,

2.6Kelas Pronomina
Pronomina yang ditemukan pada data meliputi tiga macam, yaitu:
a. Pronomina persona:
Contoh aku, suya,, anda, mereka.
b. Pronomina penunjuk:
Contoh: itu, adalah
c. Pronomina penanya:
Contoh: bila, kapan.

2.7Kata Tugas
Dari data yang ada ditemukan kata tugas yang meliputi:
1. Preposisi:
Contoh: pada, kepada, di, terhadap, oleh karena.
1.Konjungsi:
Contoh: lalu, serta, yang, bahkan, sebelum, kalau, karena, tetapi, maka, ketika. kemudian, seakan-akan.

BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Kategori Morfologi Kelas Kata Bahasa Indonesia dapat dibedakan atas:
1.Kelas Nomina
2.Kelas verba
3.Kelas Adjektiva
4.Kelas Numeralia
5.Kelas Adverbia
6.Kelas Pronomina



DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kentjono, Djoko. 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Verhaar, J.W.N. 1978. Pengantar Linguistik 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
http://www.google.co.id
http://www.wikipedia.org
http://www.%20kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/292386.htm

Makalah Proses Morfem Kata

BAB I
PENDAHULUAN


1.1LATAR BELAKANG
Dalam makalah ini akan dibicarakan seluk beluk morfem itu, bagaimana cara menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan, bagaimana morfem-morfem itu berproses menjadi kata, yaitu satuan terkecil di dalam sintaksis karena dalam proses morfemis atau proses morfologis akan terlibat juga persoalan fonologi, maka akan dibicarakan juga proses yang di sebut morfofonemik, atau proses mofofonologi atau morfonologi.
1.2MAKSUD DAN TUJUAN
Dengan makalah ini penyusun berharap agar pembaca dapat mengerti seluk beluk morfem,  bagaimana cara menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan, bagaimana morfem-morfem itu berproses menjadi kata.
1.3MANFAAT DAN KEGUNAAN
Setelah membaca dan memahami makalah ini, pembaca akan mengerti seluk beluk morfem,  bagaimana cara menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan, bagaimana morfem-morfem itu berproses menjadi kata.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1mORFEM
Tata bahasa tradisional tidak mengenal konsep maupun istilah morfem sebab morfem bukan merupakan satuan dalam sintaksis, dan tidak semua morfem mempunyai makna secara filosofis. Konsep morfem baru diperkenalkan oleh kaum struktural pada awal abad kedua puluh ini.
2.1.1Identitas Morfem
Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus membandingkan bentuk tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir berulang-ulang dengan bentuk lain, maka bentuk tersebut adalah sebuah morfem.
Dalam studi morfologi suatu satuan bentuk yang berstatus sebagai morfem biasanya dilambangkan dengan mengapitnya di antara kurung kurawal. Misalnya, kata mesjid dilambangkan sebagai {mesjid}, kata kedua dilambangkan menjadi {ke}+{dua}.
2.1.2Morf dan Alomorf
Sudah disebutkan bahwa morfem adalah bentuk yang sama, yang terdapat berulang-ulang dalam satuan bentuk yang lain. Bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama itu di sebut alomorf. Dengan perkataan lain alomorf adalah perwujudan konkret (di dalam pertukaran) dari sebuah morfem. Jadi, setiap morfem itu mempumyai alomorf, entah satu, dua, atau juga enam buah. Selain itu bisa juga dikatakan morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya, sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya
2.1.2.1Morfem Bebas dan Morfem terikat
Yang dimaksud dengan morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertukaran. Yang dimaksud dengan morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertukaran. Semua afiks dalam bahasa Indonesia adalah morfem terikat.
2.1.2.2Morfem Utuh dan Morfem Terbagi
Semua morfem dasar bebas yang dibicarakan pada 5.1.3.1 adalah termasuk morfem utuh, seperti {meja}, {kursi},{kecil},{laut},dan {pensil} begitu juga dengan swebagian morfem terikat, seperti {ter-}, {ber-}, {henti}, dan {juang}. Sedangkan morfem terbagi adalah sebuah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah.
Sehubungan dengan morfem terbagi ini, untuk bahasa Indonesia, ada catatan yang perlu diperhatikan, yaitu: semua afiks yang di sebut konfiks seperti {ke-/-an},{ber-/-an},{per-/an}dan {pe-/-an}adalah termasuk morfem terbagi.
2.1.2.3Morfem Segmental dan Suprasegmental
Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fomem segmental seperti morfem {lihat}, {lah}, {sikat}, dan{ber}, jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem yang segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental seperti tekanan, nada, durasi. Dalam bahasa indonesia tampaknya tidak ada morfem suprasegmental ini.
2.1.2.4Morfem Beralomorf Zero
Dalam linguistik deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf zero atau nol yaitu morfem salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsur suprasegmental) melainkan berupa kekosongan.
2.1.2.5Morfem Bermakna Leksikal dan Morfem Tidak Bermakna Leksikal
Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Misalnya, dalam bahasa indonesia, morfem-morfem seperti {kuda},{pergi},{lari},dan {merah} adalah morfem bermakna leksikal oleh karena itu, morfem-morfem seperti ini, dengan sendirinya sudah dapat digunakan secara bebas, dan mempunyai kedudukan yang otonom di dalam pertukaan.
Sebaliknya, morfem tak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri. Morfem ini baru mempunyai makna dalam gabungannya dengan morfem lain dalam suatu proses morfologi. Yang biasa dimaksud dengan morfem tak bermakna leksikal ini adalah morfem-morfem afiks, seperti {ber-},{me-},dan {ter}.
Istilah morfem dasar biasanya digunakan sebagai dikatonomi dengan morfem afiks, sebuh morfem dasar dapat menjadi sebuah bentuk dasar atau dasar (base) dalam suatu proses reduplikasi,atau bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses komposisi. Bentuk dasar ini dapat berupa morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfem.
Istilah pangkal (stem) digunakan untuk menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi, atau dalam proses pembubuhan afiks inflektif. Dalam bahasa Indonesia menangisi bentuk pangkalnya adalah tangisi, dan morfem me- adalah sebuah afiks inflektif.
Akar (root) digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh lagi. Artinya, akar itu adalah bentuk yang tersisa setelah semua afiksnya, baik afiks infleksional maupun afiks derivasional.
2.2Kata
Apakah kata itu, bagaimana kaitannya dengan morfem, bagaimana klasifikasinya, serta bagaimana pembentukannya, akan dibicarakan berikut ini.
2.2.1Hakikat Kata
Para linguis yang sehari-hari bergelut dengan kata ini, hingga dewasa ini, kiranya tidak pernah mempunyai kesamaan pendapat mengenai konsep apa yang di sebut dengan kata itu. Satu masalah lagi mengenai kata ini adalah mengenai kata sebagai satuan gramatikal. Menurut verhaar (1978) bentuk-bentuk kata bahasa Indonesia, misalnya: mengajar, diajar, kauajar, terjar, dan ajarlah bukanlah lima buah kata yang berbeda, melainkan varian dari sebuah kata yang sama. Tetapi bentuk-bentuk, mengajar, pengajar, pengajaran, dan ajarlah adalah lima kata yang berlainan.
2.2.2Klasifikasi Kata
Klasifikasi kata ini dalam sebuah linguistik selalu menjadi salah satu topik yang tidak pernah terlewatkan, sejak zaman aristoteles hingga kini,termasuk juga dalam kajian linguistik Indonesia, persoalannya tidak pernah tertuntaskan. Hal ini terjadi, karena, pertama setiap bahasa mempunyai cirinya masing-masing, dan kedua, karena kriteria yang digunakan untuk membuat klasifikasi kata itu bisa bermacam-macam.
Klasifikasi atau penggolongan kata itu memang perlu. Besar manfaatnya bak secara teoretis dalam studi semantik, maupun secara praktis dalam berlatih keterampilan berbahasa.
Dari pembicaraan kelas kata ini, bisa dikatakan penentuan kata-kata berdasarkan kelas atau galongan memang perlu dilakukan. Namun, kalau sampai kini banyak menimbulkan persoalan, terutama dalam bahasa indonesia, kiranya patokan atau kriterianya itu yang perlu dipikirkan kembali, dicari yang betul-betul memang bisa mengungkapkan ciri yang paling hakiki dari setiap kelas kata itu.
2.2.3Pembentukan Kata
Pembentukan kata ini mempunyai dua sifat, yaitu membentuk kata-kata yang inflektif, dan kedua yang bersifat derivatif. Apa yang dimaksud dengan inflektif dan derivatif akan dibicarakan berikut ini.
2.2.3.1Inflektif
Kata-kata dalam bahasa-bahasa berfleksi, seprti bahasa arab, bahasa latin, bahasa sansekerta, untuk dapat digunakan di dalam kalimat harus di sesuaikan dulu bentuknya dengan kategori-kategori gramatikal yang berlaku dalam bahasa itu.
2.2.3.2Derifatif
Pembentukan kata secara derivatif adalah membentuk kata baru, kata yang identitas leksikalnya tidak sama dengan kata dasarnya, contoh dalam bahasa indonesia dapat diberikan, misalnya, dari kata air yang berkelas nomina dibentuk menjadi mengairi yang berkelas verba: dari kata makan yang berkelas verba dibentuk kata makanan yang berkelas nomina.

2.3Proses Morfemis
Berikut ini akan dibicarakan proses-proses morfemis yang berkenaan dengan afiksasi, ruduplikasi, komposisi dan juga tentang konversi dan modifikasi intem, kiranya perlu jua dibicarakan produktifitas proses-proses morfemis itu.
2.3.1Afiksasi
Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Dalam proses ini terlibat unsur-unsur, (1) dasar atau bentuk dasar, (2) afiks.
1. Bentuk dasar atau dasar adalah bentuk terkecil yang tidak dapat disegmentasikan lagi.
2. Afiks adalah sebuah bentuk, biasanya berupa morfem terikat, yang diimbuhkan pada sebuah dasar dalam proses pembentukan kata.
2.3.2Reduplikasi
Reduplikasi dalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi.
2.3.3Komposisi
Komposisi adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar dangan morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat, sehingga terbentuk sebuah kontruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda, atau yang baru.
2.3.4Konversi, Modifikasi Internal, dan Suplesi
Konversi adalah proses pembentukan kata dari sebuah kata menjadi kata lain tanpa perubahan unsur segmental. Modifikasi internal (sering di sebut juga penambahan internal atau perubahan internal) adalah proses pembentukan kata dengan penambahan unsur-unsur (yang biasanya berupa vokal) ke dalam morfem yang berkerangka tetap (yang biasanya berupa konsonan). Suplesi, dalam proses suplesi perubahannya sangat ekstrem karena ciri-ciri bentuk dasar tidak atau hampir tidak tampak lagi. Boleh dikatakan bentuk dasar itu.
2.3.5Pemendekan
Pemendekan adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat, tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk utuhnya.
Dalam bahasa Indonesia pemendekan ini menjadi sangat produktif adalah karena bahasa indonesia sering kali tidak mempunyai kata untuk menyatakan suatu konsep yang agak pelik atau sangat pelik.
2.3.6Produktivitas Proses Morfemis
Produktifitas proses morfemis adalah dapat tidaknya proses pembentukan kata itu, terutama afiksasi,reduplikasi,dan komposisi, digunakan berulang-ulang yang secara relatif tak terbatas, artinya,ada kemungkinan menambah bentuk baru dengan proses tersebut. Proses infektif atau paradigmatis, karena tidak membentuk kata baru, kata yang identitas leksikalnya tidak sama dengan bentuk dasarnya, tidak dapat dikatakan proses yang produktif.
Lain halnya dengan derivasi. Proses derivasi besifat terbuka. Artinya, penutur suatu bahasa dapat membuat kata-kata baru dengan proses tersebut. Tidak adanya sebuah bentuk yang seharusnya ada di sebut Bloking. Dalam bahasa Indonesia kasus bloking tampaknya tidak sejalan dengan dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia yang ada tanpaknya bukan kasus bloking, melainkan ”persaingan” antara kata derivatif dengan bentuk atau kontruksi frase yang menyatakan bentuk dasar dengan maknanya.

2.4Morfofonemik
Morfofonemik, di sebut juga morfonemik, morfofonologi, atau morfonologi, atau peristiwa berubanya wujud morfemis dalam suatu proses morfologis, baik afiksasi, reduplikasi, maupun komposisi. Bidang kajian morfonologi atau morfofonemik ini, meskipun biasanya dibahas dalam tataran morfologi, tetapi sebenarnya lebih banyak menyangkut masalah fonologi. Kajian ini tidak dibicarakan dalam tataran fonologi karena masalahnya baru muncul dalam kajian morfologi, terutama dalam proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi, masalah morfofomemik ini tedapat hampir pada semua bahasa yang mengenal proses-proses morfologis.

BAB III
PENUTUP
3.1KESIMPULAN
Dari Semua anlisis data di atas, dapat disimpulkan bahwa morfem adalah bentuk yang sama, yang terdapat berulang-ulang dalam satuan bentuk yang lain. Bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama itu di sebut alomorf. Dengan perkataan lain alomorf adalah perwujudan konkret (di dalam pertukaran) dari sebuah morfem. Jadi, setiap morfem itu mempumyai alomorf, entah satu, dua, atau juga enam buah. Selain itu bisa juga dikatakan morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya, sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya
untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus membandingkan bentuk tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir berulang-ulang dengan bentuk lain, maka bentuk tersebut adalah sebuah morfem. Dalam studi morfologi suatu satuan bentuk yang berstatus sebagai morfem biasanya dilambangkan dengan mengapitnya di antara kurung kurawal.
Kata-kata dalam bahasa-bahasa berfleksi, seprti bahasa arab, bahasa latin, bahasa sansekerta, untuk dapat digunakan di dalam kalimat harus di sesuaikan dulu bentuknya dengan kategori-kategori gramatikal yang berlaku dalam bahasa itu.
Morfofonemik, disebut juga morfonemik, morfofonologi, atau morfonologi, atau peristiwa berubanya wujud morfemis dalam suatu proses morfologis, baik afiksasi, reduplikasi, maupun komposisi. Bidang kajian morfonologi atau morfofonemik ini, meskipun biasanya dibahas dalam tataran morfologi, tetapi sebenarnya lebih banyak menyangkut masalah fonologi

Makalah Tataran Linguistik -Frase-Klausa-Kalimat-Wacana

BAB I
PENDAHULUAN


1.1Latar Belakang
Sebagai ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk struktur kata, morfologi pun menjadi salah satu ilmu dasar dalam bidang linguistik. Ia bisa diposisikan setelah bidang fonologi. Itulah sebabnya, morfologi selalu dipelajari setelah fonologi.
Tidak banyak orang yang sudah mempelajari tentang seluk-beluk struktur kata. Memang semua orang sudah mengerti kata-kata bahasa, memang kelihatan masalah sepele, namun struktur kata sangat penting sekali bagi kita sebagai warga Indonesia, karena di setiap negara mempunyai bahasa nasional, dan kesepakatan bahasa yang digunakan dalam berbahasa.
1.2Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.Frase
2.Klausa
3.Kalimat
4.Wacana
1.3Tujuan Masalah
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut:
1.Untuk memenuhi tugas mata kuliah Morfologi yang disampaikan oleh Ibu Nur Wahyuningsih, S.Pd
2.Dapat mengerti dan memahami secara seksama tentang Frase, Klausa, Kalimat, dan Wacana.
1.4Manfaat
Dari  pembahasan ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu bagi mahasiswa khususnya bagi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia yang juga ingin mengetahui tentang pembahasan ini.

BAB II
PEMBAHASAN


2.1Frase
2.1.1Pengertian
Frase adalah satuan gramatikal berupa gabungan kata yang bersifat non predikatif yang mengisi salah satu fungsi sintaksis. Pembentuk frase adalah morfem bebas. Frase tidak mempunyai predikat. Contoh : kamar mandi, bukan sepeda.
Frase mungkin untuk diselipi kata lain. Contoh : adik saya menjadi adik milik saya.
Salah satu unsur frase tidak dapat dipindahkan sendiri, melainkan harus bersama-sama. Contoh :
Nenek membaca koran di teras depan.
Depan nenk membaca koran di teras. (tidak berterima)
2.1.2Jenis Frase
2.1.2.1Frase eksosentrik
Yaitu frase yang komponennya tidak memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya. Misal frase di pasar. Secara utuh dapat mengisi fungsi keterangan, tapi komponen di atau pasar saja tidak dapat menduduki fungsi tersebut. Frase eksosentrik dibedakan menjadi :
- frase eksosentrik direktif
Frase eksosentrik yang komponen pertama berupa preposisi (di, dari, ke) dan komponen kedua berupa kata atau kelompok kata berkategori nomina.
Frase ini disebut juga frase preposisional karena komponen pertama berupa preposisi. Contoh : di pasar, dari kayu jati, demi kemakmuran, dsb.
- frase eksosentrik non direktif
Frase eksosentrik yanga komponen pertama berupa artikulus si, sang atau kata lain seperti yang, para, kaum, sedang komponen kedua berupa kata atau kelompok kata berkategori nomina, ajektifa, dan verba. Contoh : si miskin, para jurnalis,kaum cendekiawan.
2.1.2.2Frase endosentrik
Yaitu frase yang salah satu unsurnya memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya. Salah satu unsurnya dapat menggantikan kedudukan keseluruhan. Contoh : sedang membaca menjadi membaca.
Frase endosentrik disebut juga frase modifikasi karena komponen kedua mengubah atau membatasi makna komponen pertama. Contoh : membaca, diberi sedang berarti pekerjaan sedang berlangsung.
Selain disebut sebagai frase modofikasi, juga sering disebut sebagai frase subordinatif karena salah satu komponennya berlaku sebagai komponen atasan (inti) dan yang lainnya sebagai komponen bawahan. Frase subordinatif, dilihat dari kategori intinya ada frase nomina, verba, ajektifa, dan numeral.
2.1.2.3Frase koordinatif
Yaitu frase yang terdiri dari dua atau lebih komponen yang sederajat dan dapat dihubungkan oleh konjungsi koordinatif (dan, atau, tetapi, baik…maupun). Contoh : sehat dan kuat, buruh atau majikan.
Frase koordinatif yang tidak menggunakan konjungsi secara eksplisit disebut frase parataksis. Contoh : hilir mudik, tua muda.
2.1.2.4Frase apositif
Yaitu frase yang kedua komponmennya saling merujuk sesamanya sehingga urutannya dapat dipertukarkan. Contoh :
Pak Ahmad, guru saya, sedang sakit, menjadi
Guru saya, Pak Ahmad,sedang sakit.
2.1.3Perluasan Frase
Biasanya dilakukan di sebelah kanan atau kiri. Dalam Bahasa Indonesia, perluasan frase sangat produktif karena :
1) untuk menyatakan konsep-konsep khusus atau sangat khusus.
2) pengungakapan konsep kala, modalitas, aspek, jenis, jumlah, ingkar dan pembatas tidak dinyatakan dengan afiks.
3) keperluan untuk memberi deskripsi secara terperinci.
2.2Klausa
2.2.1Pengertian
Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata berkonstruksi predikatif. Artinya dalam konstruksi itu wajib ada komponen (kata atau frase) yang berfunsi sebagai predikat. Dalam klausa, subjek juga wajib ada. Objek wajib ada jika predikat berupa verba transitif. Jika bukan verba transitif, maka yang muncul adalah pelengkap. Keterangan tidak wajib dalam klausa.
Klausa jika diberi intonasi final akan berpotensi menjadi kalimat mayor,sedang kata akan menjadi kalimat minor.

2.2.2Jenis klausa
1) berdasarkan strukturnya :
- klausa bebas
yaitu klaua yang punya unsur-unsur lengkap sekurang-kurangnya subjek dan predikat dan berpotensi menjadi kalimat mayor.
- klausa terikat
struktur tidak l;engkap, mungkin hanya S saja, P saja, O saja, aau K saja dan tidak berpotensi menjadi kalimat mayor. Klausa ini biasa dikenali dengan adanya konjungsi subordinatif di depannya disebut klausa subordinatif (bawahan) yang hadir bersama klausa atasan.
2) berdasarkan kategori unsur segmental yang menjadi predikatnya :
Dibedakan menjadi klausa verbal, numeral, nominal, ajektifal, advertbial, dan proposisional.
Klausa verbal dibedakan menjadi klausa transitif, intransitive, refleksif, dan resiprokal.
2.3Kalimat
2.3.1Pengertian
Kalimat adalah satuan yang langsung digunakan dalam berbahasa. Atau satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar , klausa, dilengkapi konjungsi bila diperlukan. Kalimat bisa berasal dari klausa yang diberi intonasi final.
2.3.2Jenis kalimat
2.3.2.1Kalimat inti dan non inti
K alimat inti (dasar) adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif/netral, dan afirmasif. Kalimat inti dapat diubah menjadi kalimat non inti dengan berbagai transformasi : pemasifan, pengingkaran, penanyaan, dsb.
Kalimat inti + transformasi = kalimat non inti
2.3.2.2Kalimat tunggal dan kalimat majemuk
Perbedaan keduanya berdasarkan banyaknya klausa dalam kalimat. Jika terdiri dari satu klausa, disebut kalimat tunggal. Jika terdiri dari dua atau lebih klausa disebut kalimat majemuk.
Berkenaan dengan sifat hubungan klausa-klausa dalam kalimat, kalimat majemuk dibedakan menjadi :
- kalimat majemuk koordinatif (setara)
Klausa-klausanya punya status yang sama. Biasanya dihubungkan dengan konjungsi dan, atau, tetapi dan lalu. Bisa juga tanpa menggunakan konjungsi.
- kalimat majemuk subkoordinatif (bertingkat)
Klausa-klausanya punya status yang tidak sama. Klausa satu disebut klausa atasan, sedang lainnya disebut klausa bawahan. Konjungsi yang digunakan : kalau, ketika, meskipun, dan karena.
Proses terbentuknya kalimat majemuk subkoordinatif ada dua sudut yang bertentangan :
- sebagai hasil penggabungan dua klausa atau lebih
- hasil proses perluasan terhadap salah satu unsur klausanya
Kalimat majemuk kompleks yaitu kalimat yan terdiri dari tiga klausa atau lebih, ada yang dihubungkan secara koordinatif dan juga subkordinatif sehingga merupakan campuran dari koordinatif dan subkoordinatif dan disebut sebagai kalimat majemuk campuran.
2.3.2.3Kalimat mayor dan minor
Perbedaannya berdasarkan lengkap tidaknya klausa yang menjadi konstituen dasar. Kalimat mayor harus punya subjek dan predikat.Jika tidak ada salah satunya, maka termasuk kalimat minor.
2.3.2.4Kalimat verbal dan nonverbal
Kalimat verbal dibentuk dari klausa verbal, predikat berkategori verba. Kalimat verbal dibedakan menjadi kalimat intransitive, trnsitif, pasif, aktif, dinamis, dan statis.
Kalimat non verbal yaitu kalimat yang predikatnya bukan verba.
2.3.2.5Kalimat bebas dan terikat
Pembedaan dikaitkan dengan paragraf yang kalimat-kalimatnya adalah satuan-satuan yang berhubungan.
Kalimat bebas dapat disendirikan, dapat memulai suatu paragraf dan berpotensi menjadi ujaran lengkap.
Sedang kalimat terikat tidak dapat disendirikan, harus terikat dengan kalimat lain, tidak dapat memulai suat paragraf, dan tidak dapat berdiri sendiri sebagai sebuah ujaran lengkap.
2.3.3Intonasi kalimat
Intonasi merupkan ciri utama yang membedakan kalimat dari klausa.
Macam intonasi :
- Tekanan : ciri-ciri suprasegmental yang menyertai ujaran
- Tempo : waktu yang dibutuhkan untuk melafalkan suatu arus ujaran
- Nada : diukur berdasarkan kenyarinagn ssuatu segmen.
2.3.4Modus, Aspek, Kala, Modalitas, Fokus, dan Diatesis
2.3.4.1Modus
Modus adalah pengungkapan atau penggambaran suasana psikologis perbuatan menurut tafsiran si pembicara. Atau sikap pembicara tentang apa yang diucapkannya. Beberapa macam modus antara lain :
- modus indikatif / deklaratif : menunjukkan sikap objektif / netral.
- modus optatif : menunjukkan harapan / keinginan
- modus imperative : menunjukkan perintah / larangan
- modus anterogatif : menyatakan pertanyaan
-modus obligatif : menyatakan keharusan
- modus desideratif : menyatakan keinginan / kemauan
- modus kondisional : menyatakan persyaratan
2.3.4.2Aspek
Aspek adalah cara untuk memandang pembentukan waktu secara internal dalam suatu situasi. Macam aspek antara lain :
- aspek kontinuatif : menyatakan perbuatan terus berlangsung
- aspek repetitive : menyatakan perbuatan berulang-ulang
-aspek insentif : menyatakan perbuatan baru dimulai
- aspek progresif : menyatakan perbuatan sedang berlangsung
- aspek imperfektif : menyatakan perbuatan hanya berlangsunga sebentar
- aspek sesatif : menyatakan perbuatan sudah berakhir
2.3.4.3Kala
Kala adalah informasi dalam kalimat yang menyatakan waktu terjadinya perbuatan yang disebutkan dalam predikat. Kala menyatakan waktu sekarang (sedang), sudah lampau (sudah), dan akan datang (akan).
Perbedaan kala dengan keterangan waktu adalah kala terikat pada predikatnya, sedang keterangan dapat berpindah di awal atau akhir kalimat.
2.3.4.4Modalitas
Modalitas adlah keterangan yang menyatakan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan, dapat berupa pernyataan kemungkinan, keinginan, keizinan dan yang lainnya. Jenis-jenis modalitas :
- intensional (keinginan, harapan, permintaan, dan ajakan)
- epistemik ( kemungkinan, kepastian, dan keharusan)
- deontik (keizinan, keperkenaan)
- dinamik (kemampuan)
2.3.4.5Fokus
Fokus adalah unsure yang menonjolkan bagian kalimat sehinggas perhatian pendengar / pembaca tertuju pada bagian itu. Dalam Bahasa Indonesia pemberian fokus dapat dilakukan dengan berbagai cara :
- pemberian tekanan
- mengedepankan bagian yang ditonjolkan
- memakai pertikel pun,yang,tentang dan adalah pada bagian tersebut
- mengontraskan dua bagian kalimat
- menggunakan konstruksi posesifanaforis beranteseden
2.3.4.6Diatesis
Diatesis adalah gambaran hubungan antara pelaku dengan perbuatan. Macam diatesis :
- aktif (subjek melakukan pekerjaan)
- pasif (subjek dikenai pekerjaan)
- refleksif ( subjek berbuat untuk dirinya sendiri)
- resiprokal (subjek terdiri dari 2 pihak berbuat berbalasan)
- kausatif (subjek penyebab terjadinya sesuatu)
2.4Wacana
2.4.1Pengertian
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap dan merupakan satuan gramatikal teringgi. Wacana dibentuk oleh kalimat-kaliamat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan lainnya.
Persyaratan gramatikal dipenuhi jika wacana sudah terbina kekohesian yang ditandai dengan keserasian hubungan antar kalimat.
2.6.2Alat wacana
Alat wacana digunakan untuk membuat wacana yang kohesif dan kohern. Ada 2 aspek, yaitu :
1) aspek gramatikal
- konjungsi (penghubung)
- kata gantio dia,-nya, mereka, ini dan itu sebagai rujukan anaforis
- menggunakan elipssis (penghilangan bagian kalimat yang sama)
2) aspek semantic
- hubungan pertentangan
- generic-spesifik dan sebaliknya
- hub. Perbandingan
- hub sebab-akibat
- hub tujuan
- rujukan yang sama
2.6.3Jenis wacana
1) Berdasarka sarana : wacana lisan dan tulis
2) Berdasarkan penggunaan bahsa : wacana prosa dan puisi
3) Berdasarkan isi : narasa, eksposisi, argumentasi, dan persuasi.
2.6.4Subsatuan wacana
Wacana yang berupa karangan ilmiah, dibangun oleh subsatuan bab, subbab,. paragraph, subparagarf. Wacana singkat tidak ada subsatuannya.

BAB III
SIMPULAN


3.1Kesimpulan
Frase adalah satuan gramatikal berupa gabungan kata yang bersifat non predikatif yang mengisi salah satu fungsi sintaksis. Pembentuk frase adalah morfem bebas. Frase tidak mempunyai predikat. Jenis Frase, antara lain frase eksosentrik, frase endosentrik, frase koordinatif, frase apositif
Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata berkonstruksi predikatif. Artinya dalam konstruksi itu wajib ada komponen (kata atau frase) yang berfunsi sebagai predikat. Dalam klausa, subjek juga wajib ada. Objek wajib ada jika predikat berupa verba transitif. Jika bukan verba transitif, maka yang muncul adalah pelengkap. Keterangan tidak wajib dalam klausa.
Kalimat adalah satuan yang langsung digunakan dalam berbahasa. Atau satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar , klausa, dilengkapi konjungsi bila diperlukan. Kalimat bisa berasal dari klausa yang diberi intonasi final.
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap dan merupakan satuan gramatikal teringgi. Wacana dibentuk oleh kalimat-kaliamat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan lainnya.
 
DAFTAR PUSTAKA
Tirtawijaya, Totong. 1992. Morfologi Bahasa Indonesia. Surabaya: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni.
Kentjono, Djoko. 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Martinet, Andre. 1987. Ilmu Bahasa : Pengantar. Yogyakarta : Kanisius
http://www.google.co.id
http://www.yahoo.co.id
http://www.wikipedia.org
http://www.mediawiki.org

Pengertian dan Contoh DIALEK

DIALEK

Pengertian Dialek
    Dialek adalah dimana seseorang mengenal bahasa seseorang melalui logat atau pengucapan bahasanya.

Contoh :
Ketika kita berada di lingkungan pasar dan kita mendengar bahasa pedagang yang berasal dari Madura, kita bisa tahu bahwa pedagang itu orang Madura dari cara pengucapan bahasanya atau logat saat dia berdagang.

Komentar :
Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa pengucapan bahasa atau logat seseorang menunjukkan asal bahasa daerah orang tersebut.

Sosiolinguistik kajian bahasa dan Ilmu-ilmu Lain

Sosiolinguistik dan Ilmu-ilmu Lain.

Sosio adalah masyarakat, dan linguistik adalah kajian bahasa, jadi Sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (dipelajari oleh ilmu-ilmu social khususnya sosiologi). Sosiolinguistik disebut juga liguistik institusional(Halliday, 1970) atau sosiolog bahasa (Fishman, 1972). Terdapat beberapa batasan  tentang Sosiolinguistik, yaitu berbagai batasan, Sosiolinguistik dengan Ilmu Sosiologi, Sosiolinguistikk dengan Ilmu Linguistik Umum, Sosiolinguistik dengan Ilmu Dialektika.
Dari pemahaman sebelumnya, Sosiolinguistik mempunyai keterkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa/lingkungan masyarakat di suatu tempat baik dari berbagai batasan bahasa/linguistik, dengan Ilmu sosiologi, dengan Linguistik Umum, dengan Dialektika di dalamm kehidupan suatu masyarakat dan mempunyai tujuan sebagai suatu kesepakatan/kaidah penggunaan bahasa yang disepakati masyarakat dengan berbagai kebudayaan dalam masyarakat. Dari berbagai Ilmu-ilmu Sosiolinguistik mempunyai karakteristik sendiri-sendiri, seperti pada Ilmu Sosiologi yang mempelajari tentang Struktur sosial, organisasi kemasyarakatan, hubungan antaranggota masyarakat dan tingkah laku masyarakat. Pada Linguistik Umum mempelajari struktur bahasa yang meliputi tentang struktur bunyi, struktur morfologi, struktur kalimat dan struktur wacana (discourse). Sedangkan pada Dialektika tentang berbagai dialek/pengucapan bahasa dalam suatu bahasa yang ada dalam masyarakat.

TATA BENTUKAN BAHASA INDONESIA

TATA BENTUKAN BAHASA INDONESIA

Gejala baru dalam tata bentukan
Setiap bahasa mempunyai kaidah (aturan), mempunyai sistem. Bahkan adakalanya dikatakan bahwa bahasa adalah sistem, yaitu sistem lambang, yang bersifat manasuka atau arbitrer. Mengenai hal ini telah banyak dibicarakan dalam buku ilmu bahasa. Yang kita perlukan disini: “Apakah sistem itu”?
Sistem adalah ketentuan atau ketetapan wujud dalam peristiwa-peristiwa bahasa. Sekarang timbul pertanyaan, sampai dimanakah ketetapan wujud itu dapat bertahan? Wujud yang manakah yang dianggap wujud yang baku? Kedua pertanyaan ini perlu diperhatikan.
Ketetapan wujud itu terdapat dalam berbagai bentuk ketatabahasaan, diantaranya pada struktur kata, struktur kalimat, dan tata bentukan.
Ketetapan wujud pada struktur kata, misalnya: kata makan telah memiliki bentuk yang tetap. Fonem-fonemnya tidak dapat diubah-ubah urutannya, menjadi: amnak, kanam, nakam, dan sebagainya, karena akan melanggar sistem dan tidak dapat dipahami dan komunikasi. Jdai, kata makan telah memiliki bentuk yang tetap. Begitu pula kata-kata: sepeda, jalan, tidur, bangun, dan sebagainya. Tetapi tidak mustahil dahulu bentuknya tidak begitu. Sebaliknya ada juga kemungkinan sekian ratus tahun yang akan datang kata tersebut akan berubah bentuknya.
Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa  kata di (preposisi, kata depan) dan morfem di- (prefiks) memiliki bentuk yang sama, tetapi mempunyai fungsi yang berbeda, karena sejarah asalnya tidak sama. Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa: kata di (preposisi) berasal bahasa Kawi ri (juga bahasa Batak), sedangkan ri berasal dari re (bahasa Munda) yang berfungsi preposisi seperti sekarang.
Prefiks di- berasal dari bahasa Kawi (juga bahasa Melayu Kuno): ni. Unsur ni ini ada hubungannya dengan sisipan -ini- yang sama artinya dengan di- (Slametmuljana, 1964: 75 dan 114).
Ketetapan wujud dalam struktur kalimat, perhatikanlah kalimat: Ahmad sedang makan di rumah.
Kalimat ini terdiri dari tiga kelompok, yaitu: ahmad, sedang makan, di rumah. Perpindahan urutannya (permutasi) dapat terjadi sepanjang tidak mengubah susunan kelompok (gatra), atau tidak bertetangan dengan sistem yang berlaku. Misalnya menjadi ;
Sedang makan / Ahmad / di rumah.
Sedang makan / di rumah / Ahmad.
Di rumah / Ahmad / sedang makan.
Di rumah / sedang makan / Ahmad.
Tetapi tidak mungkin terjadi :
Makan sedang Ahmad rumah di.
Jadi, terlihat juga adanya sistem di dalam struktur kalimat bahasa Indonesia.
Yang akan kita tinjau sekarang adalah mengenai ketetapan wujud di dalam pembentukan kata, dalam wujud kata bentukan. Adanya afiks yang produktif dan yang tidak produktif. Karena di dalam bahasa Indonesia tidak semua afiks digunakan secara efektif. Yang produktif, dalam arti yang dapat digunakan untuk membuat bentukan-bentukan secara teratur, tidaklah banyak; seperti:
1.    reduplikasi    :    mata-mata
2.    ber-    :    berjalan
3.    ber-an    :    berjauhan
4.    me – (m, n, ng, ny)    :    melawat, membeli, menjadi, mengganti, menyapu.
5.    me (m, n, ng) – i    :    melebihi, membanjiri, mendatangi, mengungguli.
6.    me (m, n, ng) – kan    :    melakukan, membandingkan, menjajakan, menggelikan.
7.    memper – (kan)    :    memperlebar, mempertinggi, memperkenankan.
8.    se-    :    seputih, sejajar, selaras.
9.    ter-    :    terhebat, terbesar.
10.    -an    :    harian, harapan, makanan.
11.    per (m, n, ng)    :    perantaraan, permainan, pembelaan, penjagaan, penggalian.
12.    pe (m, n, ng)    :    pelengkap, pembantu, penjudi, pengganggu.
13.    ke – an    :    kekerasan, keheranan.
Oleh karena jumlah afiks begitu sedikit, sedangkan pemakaiannya begitu banyak, maka akibatnya alat-alat pembentuk kata itu memiliki lebih dari satu ventilasi. Jadi bersifat ambivalen.
Misalnya :
1.    Substantif    :    Ia penyayang binatang.
    Ajektif    :    Tuhan Maha Penyayang.
2.    Substantif    :    kebesaran jiwa.
    Verbum    :    Saya tadi kehujanan.
3.    Ajektif    :    bajunya berdarah.
    Verbum    :    Ia berbaju.
Dari contoh-contoh di atas nyatalah bahwa bentukan-bentukan dengan afiks yang sama dapat dimasukkan ke dalam pelbagai jenis kata. Kenyataan ini menyebabkan bahwa semua bentuk kata memiliki kemungkinan untuk menempati lebih dari satu fungsi dalam kalimat, atau dengan kata lain memiliki labih dari satu valensi (Wojowasito, 1970 : 59-62).
Gejala baru dalam pembicaraan ini tidak mungkin dibatasi secara ketat, karena proses perkembangan bahasa sangat kompleks. Di dalamnya terlihat berbagai aspek, seperti misalnya masuknya konsep-konsep baru dalam ilmu pengetahuan, yang mempunyai implikasi perlunya dicari/diciptakan istilahistilah atau bentukan kata-kata baru yang mewadahinya.
Kenyataan itu tidak bisa dihindarkan sebab bahasa berkembang sejajar dengan perkembangan masyarakatnya. Masyarakat Indonesia mengalami perkembangan yang demikian pesat, terutama pada akhir-akhir ini, baik dibidang penemuan-penemuan baru, maupun dalam bidang ilmu dan teknologi. Di antara gejala-gejala baru itu adalah :

(1)Prefiks pasif + prefiks aktif + bentuk dasar + (sufiks)
    Perhatikan contoh kalimat di bawah ini:
para penumpang harap segera naik, kereta api akan segera diberangkatkan.
Keberhasilan suatu program harus diukur berdasarkan komponen-komponennya.
Persoalan itu tidak perlu dirisaukan, tetapi cukup dimengerti saja.
Kata-kata: diberangkatkan, keberhasilan, dan dimengerti sering dipersoalkan orang. Ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. Yang tidak setuju menyatakan berkeberatan, karena dua prefiks yang pada hakekatnya bertentangan (yang satu pasif, dan yang lain aktif) itu tidak dapat digunakan bersama-sama.
Ada yang berpendapat supaya dimengerti diganti dengan dipahami. Tetapi kata mengerti dan paham mempunyai gradasi pengertian yang tidak sama. Kalau konsep yang diinginkan itu memang mengerti, kita harus melihatnya dengan cara lain. Apakah bentuk dasar mengerti? Kita tidak dapat menjawabnya dari: erti: sebab kata erti tidak dipakai lagi dalam bahasa Indonesia; yang dipakai: arti. Karena itu bentuk dasar bukanlah erti, melainkan: mengerti, yang disebut dengan istilah bantuk dasar sekunder. Maka seharusnya pandangan kita begini :



Sekarang gantilah X itu dengan kata mengerti, maka terjadilah bentukan dimengerti.
Demikian pula dengan : diberangkatkan, kita lihat sebagai berikut :



Seperti di atas X itu diganti dengan kata berangkat, maka terjadilah bentuk diberangkatkan. Bentukan tersebut tidak hanya dapat, tetapi harus ditermia, sebab artinya akan lain bila dikatakan:
- Kereta api akan segera diangkatkan.
Memang dahulu kata angkat berarti berangkat (pergi) seperti yang masih terpakai dalam bahasa Sunda:
- Bade angkat ke mana, Agan ?
  ‘Mau berangkat ke mana, tuan ?
Begitu pula bentuk keberhasilan, kita lihat seperti tadi dengan bentuk dasar berhasil, lalu memperoleh ke-an menjadi keberhasilan. Maka atas dasar inilah terbentuk pula bentuk-bentuk seperti: keberuntungan, kebersamaan, kebermaknaan, dan sebagainya.
(2)Konfiks ke –an dan ter--
    Sejajar  dengan  bentukan  di  atas  muncullah  kombinasi  konfiks ke-an  dan ter-;misalnya  pada  :
-Kita  harus  bekerja  keras  untuk  menghapus  keterbelakangan  kita.
-Ketersediaan  sarana  dan  prasarana  harus  dipenuhi  apakah  suatu  program  ingin  berhasil  baik.
-Kita  harus  berusaha  meniadakan  keterasingan  para  siswa  dari  lingkungan-nya.
-Paket  Belajar  untuk  SPG  dinilai  pula  ketercapaiaannya  di  Lembaga  tersebut.
    Kata-kata  di  atas  :  ketrbelakangan,  ketersediaan,  keterasingan,  dan  ketercapaian;  sama  halnya  dengan  pada  butir  (1)  di  atas,  maka  pangkal  bentuk-bentuk  itu  adalah:  terbelakang,  tersediaan,  terasing,  dan  tercapai.  Jadi  baentukanbentukan  tersebut  dapat  dipandang  srbagai  bentukan  ke-an,  seperti  :

 Besar
Adil
indah

 X


(3)Kombinasi  me  (N)-dan  ber-
    Ada  lagi  data  yang  unik  sekali,  yaitu  kombinasi  me(N)-  dan  ber-  yang  jarang  terjadi,  seperti  pada  :

Mendidik  pada  hakekatnya  adalah usaha  membelajarkan  siswa.
Maksudnya  mendidik  itu  merupakan  usaha  untuk  membuat  siswa  dapat  belajar  sendiri.  Jadi  siswa  harus  aktif,  bukan  lagi  sebagai  objek  didik,  sesuai  dengan  prinsip  CBSA  (Cra  Belajar  SISWA  Aktif).  Karena  diperlukan  cara  yang  lebih  singkat,  tetapi  cukup  efektif  untuk  menjelaskan  konsep  tersebut  maka  timbullah  bentukan  yang  unik  itu  :  membelajarkan.
      Contoh  lain  yang  sejajar  dengan  itu  ialah  :
Pemerintah  memberlakukan  peraturan  itu  sejak  tahun  ini.
    Bentuk  memberlakukan  secara  konsep  sesuai  dengan  yang  dimaksud,  yaitu  membuat  peraturan  itu  berlaku.  Walaupun  sebenarnya  masih  ada  cara  lain  untuk  menyatakan  dan  cara  itu  tidak  terlalu  jauh  dari  konsepnya  yaitu  :
-Pemerintah  meyatakan  berlaku  peraturan  itu  sejak  tahun  ini.
-Pemerintah  menyatakan  peraturan  itu  berlaku  sejak  tahun  ini.

(4)Di  dalam  bahasa  indonesia  sekarang  banyak  digunakan  kata  :  data-data,  misalnya  :
    -Data-data  yang  telah  terkumpul  akan  diseleksi,  kemudian  dikelompok-                 kelompokkan,  dianalisis,  lalu  disimpulkan.
    Kata  Data  berasal  dari  bahasa  Latin  yang  menunjukkan  bentuk  jamak,  sedangkan  bentuk  tunggalnya:  datum.  Yang  kita  pungut  hanyalah  bentuk  data,  sedangkan  bentuk  datum  tidak.  Itulah  sebabnya  timbul  kecenderungan  untuk  memperlakukan  data  sebagai  bentuk  tunggal  (bahasa  indonesia  tidak  mengenal  bentuk  jamak),  sehingga  arti  jamaknya  dinyatakan  dengan  mengulang  kata  itu.
    Contoh  lain  ialah  kata  fakta,  yang  di  dalam  bahasa  Latinnya  menyatakan  jamak;  sedangkan  bentuk  tunggalnya  adalah  faktum  tidak  kita  pungut.  Itulah  sebabnya  dalam  pemakaian  bahasa  Indonesia  terdapat  pengulangan  kata  itu  menjadi : fakta-fakta.
    Lain  hyalnya  dengan  kata  yang  dipungut  dari  bahasa  Arab  seperti  :
    -  unsur  (bentuk  tunggal)        -  anasir  (bentuk  jamak)
    -  ruh  (bentuk  tunggal)            -  arwah  (bentuk  jamak)
Karena kedua-duanya  dipungut  ke  dalam  bahasa  Indonesia  dan  tidak  mengalami  pergeseran  arti,  maka  pemakaian  bentuk  anasr-anasir  tidak  dibenarkan,  seharusnya  yang  dipakai  adalah  :  unsur-unsur.

Bahan Perkuliahan KURIKULUM KTSP dan KBK

 BAB I
KURIKULUM
Masa depan bangsa terletak dalam tangan generasi muda. Mutu bangsa di kemudian hari bergantung pada pendidikan yang dikecap oleh anak-anak sekarang, terutama melalui pendidikan formal di sekolah. Apa yang akan di capai di sekolah, di tentukan oleh kurikulum sekolah itu.
Pengertian kurikulum
perkataan kurikulum dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang lebih satu abad yang lampau. Perkataan ini belum terdapat dalam kamus Webster tahun 1812 dan baru timbul untuk pertama kalinya dalam kamus pada tahun 1856. Artinya pada waktu itu adalah: “1. a race course; a place for running; a chariot. 2. A course in general; applied paerticulary to the course of study in a university”. Jadi dengan “kurikulum” dimaksud suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari atau dalam kereta perlombaan, dari awal sampai akhir. “kurikulum juga berarti “chariot,” semacam kereta pacu pada zaman dahulu, yakni suatu alat yang membawa seorang dari “start” sampai “finish”’
Di samping penggunaan “kurikulum” semula dalam bidang olah raga, kemudian di pakai dalam bidang pendidikan, yakni dalam sejumlah mata kuliah di perguruan tinggi.
Dalam kamus Webster tahun 1955 “kurikulum di beri arti” a. A course esp. a specified fixed course of study, as in a school or college, as one leading to a degree. b. The whole body of course offered in an educational institunion, or deparemen there of, - the usual sense.” Di sini “kurikulum” khusus digunakan dalam pendidikan dan pengajaran, yakni sejumlah mata pelajaran di sekolah atau mata kuliah di perguruan tinggi, yang harus di tempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat. “kurikulum” juga berarti keseluruhan pelajaran yang di sajikan oleh suatu lembaga pendidikan.
Di Indonesia istilah “kurikulum” baru menjadi popular sejak tahun lima puluhan, yang di populerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Kini istilah itu di kenal orang di luar pendidikan. Sebelumnya yang lazim digunakan ialah “rencana pelajaran”. Pada hakekatnya kurikulum sama artinya dengan rencana pelajaran. Hilda Taba dalam bukunya Curriculum Development, Theory and Practice mengartikan sebagai “a plan of learning”, yakni sesuatu yang direncanakan untuk pelajaran anak.
Kurikulum adalah program pendidikan yang di seiakan oleh lembaga pendidikan (sekolah) bagi siswa. Berdasarkan program pendidikan tersebut siswa melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga mendorong perkembangan dan petumbuhannya sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, dengan program kurikuler tersebut, sekolah/lembaga pendidikan menyediakan lingkungan pendidikan bagi siawa untuk berkembang. Itu sebabnya, kurikulum disusun sedemikian rupa yang memungkinkan siswa melakukan beraneka ragam kegiatan belajar. Kurikulum tidak terbatas pada sejumlah mata pelajaran, namun meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan siswa, seperti: bangunan sekolah, alat pelajaran, perlengkapan sekolah, perpustakaan, karyawan tata usaha, gambar-gambar, halaman sekolah, dan lain-lain.
Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses activities, and experiences which pupils have under the direction of school, whether in the classroom or not.
Berdasarkan rumusan ini, kegiatan-kegiatan kurikuler tidak terbatas dalam ruangan kelas, melainkan mencakup juga kegiatan di luar kelas. Pandangan modern menjelaskan, bahwa antara kegiatan intrakurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler tidak ada pemisahan yang tegas. Semua kegiatan yang bertujuan memberikan pengalaman pendidikan kepada siswa tercakup dalam kurikulum.
Kendatipun pandangan tersebut di terima , namun pada umumnya guru-guru tetap berpandangan, bahwa kegiatan-kegiatan dalam kelas saja yang termasuk kurikulum, sedangkan kegiatan di luar kelas dari segi nilai edukatif yang dinerikan oleh kurikulum itu. Penganut pandangan ini tetap menyadari, bahwa kegiatan-kegiatan ekstrs merypakan bagian khusus dalam program pendidikan sekolah.
Pandangan yang dikemukakan oleh Prof. I.P. Simanjuntak juga mendapat perhatiandilihat dari segi piker sistematik yang ilmiah dan rasional, dimana kurikulum dikaji dari berbagai aspek, yakni seagai berikut:
1)Kurikulum berkenaan dengan fungsi. Pada garis besarnya, suatu kurikulum diperuntukkan bagi warga Negara (calon warga Negara), calon anggota/pembentuk keluarga yang baru, calon anggota masyarakat, calon anggota profesi, dan sebagainya.
2)Kurikulum itu disediakan untuk siapa? Pertanyaan itu berkenaan dengan siapa yang akan mendapat dan mengikuti kegiatan-kegiatan kurikulum tersebut. Jadi secara langsung berkenaan dengan siswa atau atau anak didik. Karena itu kurikulum harus mempertimbangkan aspek perkembangan, kemampuan, intelegensi, kebutuhan, minat dan permasalahan yang dihadapi siswa. Implikasinya, isi kurikulum atau bahan pelajaran harus bersumber dan sesuai dengan lingkungan anak tersebut.
3)Kurikulum itu diberikan untuk membantu jadi apa? Pertanyaan ini berkenaan dengan tujuan kurikulum. Secara khusus perlu dipertanyakan apakah kurikulum itu ditujukan untuk mempersiapkan anak melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, atau intuk mempersiapkan anak ke lapangan kerja yang tersedia dalam masyarakat, atau kedua-duanya. Bertalian dengan masalah tersebut, selanjutnya perlu dipertimbangkan apakah kurikulum itu bersifat educable atau trainable, di samping mempertimbangkan juga usaha membentuk kepribadian yang terintegrasi dalam semua aspek (kognitif, afektif dan psikomotorik). Imolikasinya adalah berkenaan dengan penentuan program pendidikan umum, program pendidikan khusus dan program-program lainnya yang diperlukan.
4)Hal-hal apa saja yang harus tercakup dalam kurikulum? Petanyaan ini berkenaan dengan isi kurikulum harus berdasarkan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan-tujuan itu dilihat dari segi: (1). Aspek hakekat manusia, (2). Tuntutan dalam pembangunan, (3). Tuntutan bagi setiap warga Negara dengan nilai-nilai dasar dalam konstitusi, aspirasi pemerintah, aspirasi masyarakat dan kebudayaan nasional. Isi kurikulum senantiasa disusun dalam bentuk program pengajaran bidang studi. Materi kurikulum secara structural memiliki keseimbangan, serasi dengan linkungan, keluesan, berkesinambungan, yang disusun dalam urutan topic-topik pelajaran dalam ruang lingkup tertentu.
5)Bagaimana melaksanakan kurikulum ? pertanyaan ini berkenaan dengan aspek metodologi pengajaran. Masalah ini erat pertaliannya dengan tujuan yang hendak dicapai, anak yang belajar, guru yang mengajar, bahan pelajaran, alat bantu pengajaran. Pendekatan metodologi umumnya telah digariskan dalam kurikulum. Misalnya dalam kurikulum tahun 1975 telah ditegaskan, bahwa metode yang digunakan adalah pendekatan ‘Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI)’. Dewasa ini telah dikembangkan system instruksional berdasarkan tujuan yang spesifik, dapat di ukur dan berdasarkan perubahan tingkah laku yang diharapkan, guru lebih banyak berperan sebagai pembimbing dan fasilitator. Murid lebih aktif, bahan yang serasi dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai serta mudah diperoleh, disamping menggunakan teknologi pendidikan yang lebih maju sesuai dengan kemungkinan yang ada. Untuk itu, dianjurkan agar guru-guru lebih banyak menggunakan metode-metode, seperti: diskusi, pemecahan masalah, karyawisata, pengajaran berprogama dan system modul, selain model ceramah yang sampai sekarang masih dipakai oleh sebagian besar guru.
6)Bagaimana cara mengetahui hasil kurikulum itu? Pertanyaan ini berkenaan dengan system evaluasi. Dalam pedoman pelaksanaan kurikulum umumnya telah ditentukan system dan alat evaluasi yang perlu digunakan guru. Evaluasi yang digunakan secara formatif maupun secara summative. Bentuk evaluasi yang digunakan secara objektif dan komprehensif. Disamping evaluasi hasil belajar juga dikembangkan prosedur evaluasi kurikulum dan evaluasi program pendidikan.
Dalam system pendidikan nasional, dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan isi dan lahan pelajearan serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Rumusan ini lebih spesifik yang mengandung pokok-pokok pikiran, sebagai berikut:
1.Kurikulum merupakan suatu rencana atau perencanaan.
2.Kurikulum merupakan pengaturan, berarti mempunyai sistematika dan struktur tertentu.
3.Kurikulum memuat atau berisikan isi dan bahan pelajaran, menunjuk kepada perangkat mata ajaran atau bidang pengajaran tertentu.
4.Kurikulum mengandung cara, atau metode atau strategi penyampaian pengajaran.
5.Kurikulum merupakan pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
6.Kendatipun tidak tertulis, namun telah tersirat di dalam kurikulum, yakni kurikulum dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan.
7.Berdasarkan butir 6, maka kurikulum sebenarnya adalah suatu alat pendidikan.


              BAB II
 PERKEMBANGAN KURIKULUM
Kalau kita berbicara mengenai inovasi dan pengembangan kurikulum, pertanyaan pertama ialah mengapa harus memikirkan dan melakukannya? Apa alasannya? Audrey & S.Howard Nicholls (1982) mengemukakan bahwa karena masyarakat dan mereka yang belajar mengalami perubahan, maka langkah awal dalam rumusan kurikulum adalah penyelidikan mengenai situasi (situation analysis) yang kita hadapi termasuk situasi lingkungan belajar dalam artian menyeluruh, situasi peserta didik, dan para calon pengajar yang diharapkan melaksanakan kegiatan.
Para ahli kurikulum umumnya berpendapat bahwa kurikulum hanyalah alat atau instrument untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran yang ditetapkan. Kurikulum bukan sebagai tujuan akhir. Dalam sebuah pendidikan teologi, dapat dikatakan bahwa pengajar dan mereka yang belajar berinteraksi di sekitar kurikulum yang di rumuskan untuk mencapai suatu tujuan Seiring dengan perubahan masyarakat dan nilai-nilai budaya, serta perubahan kondisi dan perkembangan peserta didik, maka kurikulum juga mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh asaz falsafah dan tujuan pendidikan teologi yang kita anut. Mengutip pandang Ralph Tyler (1949), almarhum Prof. S. Nasution mengetengahkan empat factor, landasan ataupun asaz utama yang selalu mengambil peran dalam pengembangan kurikulum, yakni: pertama, azas filosofi, termasuk filsafat bangsa, masyarakat dan sekolah serta guru-guru; kedua azas sosiologis, menyangkut harapan dan kebutuhan masyarakat (orang tua, kebudayaan, masyarakat, pemerintah, ekonomi); ketiga azas psikologi yang terkait dengan taraf perkembangan fisik, mental, emosional dan spiritual anak didik; keempat: azas epistemologis, berkaitan dengan konsep kita mengenai hakekat ilmu pengetahuan.
Pengembangan kurikulum merupakan inti dalam penyelenggaraan pendidikan, dan oleh karenanya pengembangan dan pelaksanaan harus berdasarkan pada asas-asas pembangunan secara makro. System pengembangan kurikulum harus berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
1.Kurikulum dan teknologi pendidikan berdasarkan pada asaz keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2.Kurikulum dan teknologi pendidikan berdasarkan dan diarahkan pada asaz demokrasi pancasila.
3.Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan berdasarkan dan diarahkan pada asaz keadilan dan pemerataan pendidikan.
4.Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan dilandasi dan diarahkan berdasarkan asaz keseimbangan, keserasian dan keterpaduan.
5.Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan dilandasi dan diarahkan berdasarkan asaz hokum yang berlaku.
6.Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan dilandasi dan diarahkan berdasarkan asaz kemandirian dan pembentukan manusia mandiri.
7.Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan dilandasi dan diarahkan berdasarkan asaz nilai-nilai kejuangan bangsa.
8.Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan dilandasi dan diarahkan berdasarkan asaz pemanfaatan, pengembangan, penciptaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Mengacu pada pola pikir manajemen, maka pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan secara terpadu dan berjenjang, sebagai berikut:
1.Tingkat makro; penembangan kurikulum didukung oleh berbagai disiplin ilmu kealaman, ilmu social dan ilmu perilaku yang masing-masing menganut hukumnya sendiri (hokum kausalitas, hokum normative, dan hokum probabilitas).
2.Tingkat structural; pengembangan kurikulum melibatkan peran serta berbagai pihak secara intersektoral, dan antar institusional baik dalam lingkungan pendidikan maupun nono pendidikan, yang dilaksanakan secara terkoordinasi.
3.Tingkat mikro; pengembangan kurikulum dilaksanakan secara sistematik yang memuat semua komponen, lengkap, utuh, menyeluruh, konsisten, dan serasi dengan factor-faktor yang  mendasarinya.
4.Tingkat individual; pengembangan kurikulum mengacu dan melibatkan semua individu secara interaktif dan komunikatif dalam proses pembelajaran agar tercapai hasil belajar yang dapat diamati secara terukur.

























       BAB III
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
                             (KBK)

Kurikulum berbasis kompetensi adalah konsep kurikulum yang dikembangkan Departemen Pendidikan Nasional RI untuk menggantikan kurikulum 1994. KBK merupakan sebuah konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standart peformansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh siswa, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu.
KBK lahir sebagai implikasi dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Dengan adanya Undang-Undang tersebut. Maka terjadi perubahan kebijakan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada desentralistik. Perubahan kebijakan tersebut sudah barang tentu berimplikasi pada penyempurnaan kurikulum. Melalui kurikulum 2004 , daerah diberi keleluasaan untuk mengembangkan dunia pendidikan diwilayahnya berdasarkan karakteristik daerah tersebut.
KBK juga lahir sebagai respon atas berbagai persoalan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia, diantaranya adalah pergeseran orientasi pendidikan, dari orientasi berkelompok kepada individual. Maksudnya pendidikan diarahkan untuk membentuk individu yang mempunyai potensi dan bakat yang berbeda dan bervariasi, sehingga perlu perhatikan secara berbeda.
Untuk mengetahui kemampuan itntelektual pelajar, maka perlu diadakan dua bentuk SMA, yaitu SMA-A dan SMA-B. SMA-A menerima lulusan SMP dengan (nilai ebtanas murni evaluasi belajar tahap akhir nasional(NEM ebtanas) minimal 45 atau dengan hasil ujian nasional (UAN) minimal 7,5. SMA-B menerima lulusan  SMP dengan NEM ebtanas minimal 36 atau dengan hasil UAN minimal 6,0.
Pembagian untuk anak-anak pinar dan anak biasa juga berlaku di luar negeri dan dalam negeri. Berikut contoh-contohnya.
Di Jerman, ada gymnasium untuk anak pintar dan realschule untuk anak biasa.
Di Belanda, ada voobereidend wetenschahappelijk onderwijs (VWO) untuk anak-anak pintar dan hoter algemeen vormend onderwijs (HAVO) untuk anak-anak biasa.
Di Inggris, Singapura, dan Malaysia, ada high school tujuh tahun untuk anak pintar, dan high school lima tahun untuk anak biasa.
Di Indonesia, pada akhir tahun ajaran 1996/1997 ada 21 SMU unggul di Jakarta. Sekolah ini menerima pelajar yang memiliki NEM SLTP minimal 45. Hasil ebtanas adalah NEM rata-rata IPA 7,0; NEM rata-rata IPS 7,90. Hasil ebtanas SMU biasa adalah NEM rata-rata IPA 5,12, NEM rata-rata IPS 5,60.
Harus diakui, tidaklah mungkin mencapai kompetensi yang tinggi apabila dalam satu kelas para pengajar harus mengajar murid yang lemah kemampuannya, murid biasa, dan murid pintar secara bersama.
Lulusan SMA-A boleh melanjutkan ke universitas atau institut. lulusan SMA-B boleh melanjutkan ke sekolah tinggi kejuruan (fachhochschule), akademi, atau politeknik.
Untuk mencapai kompetensi tinggi, semua pengajar harus magister pengajaran bidang studi (master in science teaching, master in language teaching, master in religion teaching, dan sebagainya). Semua pengajar (sekolah menengah negeri) ini diangkat oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pusat.
Kurikulum dan bahan yang diajarkan sama, baik untuk SMA-B maupun SMA-B. cara mengajarnya lebih intensif dan tuntunan kepada pelajar SMA-A lenih tinggi.
Kurikulum dan bahan yang diajarkan selama tiga tahun ditentukan oleh Depdoknas pusat. Urutan bahan yang diajarkan diserahkan kepada pengajar mata pelajaran. Pengajar sendiri yang akan menentukan buku-buku bidang studi mana saja yang akan dipakai. Dengan demikian, buku-buku yang digunakan itu tidak ditentukan oleh kepala sekolah atau komisi sekolah.
Semua buku-buku bidang studi yang sudah dipilih dan akan dipakai itu dipinjamkan kepada para pelajar. Karena itu, perpustakaan harus memiliki buku selengkap mungkin dan dikelola oleh seorang ahli perpustakaan.
Pengalaman sehari-hari meyakinkan kita bahwa bergairah saja tidak cukup untuk berhasil dalam studi, cara membimbing pelajar, cara mengajar itu ikut menentukan. Maka, perlu ada aturan-aturan yang dimaksud untuk menciptakan sebuah kerangka pasti dan jelas, yang membantu baik pengajar maupun pelajar meraih tujuan pembelajaran.





























BAB IV
KOMPETENSI TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
(KTSP)
KTSP merupakan singkatan dari singkatan dari Kompetensi Tingkat Satuan Pendidikan, yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah /daerah, social budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik. Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standart kompetensi lulusan, di bawah supervise dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab dibidang pendidikan di SD, SMP, SMA dan SMK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintahan dibidang agama untuk MI, MTs, MA dan MAK.
KTSP merupakan upaya untuk menyempurnakan kurikulum agar lebih familiar dengan guru, karena mereka banyak dilibatkan diharapkan memiliki tanggung jawab yang memadai. Penyempurnaan kurikulum yang berkelanjutan merupakan keharusan agar system pendidikan nasional selalu relevan dan kompetitif. Hal tersebut juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 35 dan 36 yang menekankan perlunya peningkatan standart nasional pendidikan sebagai acuan kurikulum secara berencana dan berkala dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
A.Konsep Dasar KTSP
Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15)dikemukakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1), dan 2) sebagai berikut:
1.Pengembangan kurikulum mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional.
2.Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Beberapa hal yang perlu dipahami dalam kaitannya dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah sebagai berikut:
 KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan karakteristik daerah, serta social budaya masyarakat setempat dan peserta didik.
Sekolah dan komite sekolah mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan , di bawah supervise dinas pendidikan kabupaten/kota, dan departemen agama yang bertanggungjawab di bidang pendidikan.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. KTSP merupakan paradigm baru pengembangan kurikulum, yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar-mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
KTSP adalah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan. Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan memberikan otonomi yang lebih besar, di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas, efisiensi, dan pemerataan pendidikan. KTSP merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan dan kebutuhan masing-masing. Otonomi dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja guru dan staf sekolah, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan, khususnya kurikulum. Pada system KTSP, sekolah memiliki “full authority and responsibility” dalam menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan visi, misi, dan tujuan satuan pendidikan, untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan tersebut, sekolah di tuntut untuk mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam indicator kompetensi, mengembangkan strategi, menentukan prioritas, mengendalikan pemberdayaan berbagai potensi sekolah dan lingkungan sekitar, serta mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat dan pemerintah,
Dalam KTSP, pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru, kepala sekolah, serta Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Badan ini merupakan lembaga yang dutetapkan berdasarkan musyawarah dari pejabat daerah setempat, komisi pendidikan pada dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), pejabat pendidikan daerah, kepala sekolah, tenaga kependidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan tokoh masyarakat. Lembaga inilah yang menetapkan segala kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang pendidikan yang berlaku. Selanjutnya komite sekolah perlu merumuskan dan menetapkan visi, misi, dan tujuan sekolah dengan berbagai implikasinya terhadap program-program kegiatan oprasional untuk mencapai tujuan sekolah.







BAB V
KETERKAITAN ANTARA KBK DAN KTSP

Pada dasarnya KTSP adalah KBK yang dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan standart isi (SI) dan standart kompetensi lulusan (SKL). KS dan KD yang terdapat dalam SI merupakan penyempurnaan dari SK dan KD yang tedapat pada KBK. Sebagai contoh dalam kurikulum MTs 2004 hanya terdapat satu/dua standart kompetensi (SK) masing-masing jenjang kelas untuk hamper semua mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (Aqidah Akhlak, AL-Qur’an Hadits, Fiqh, dan SKI). Namun dalam kurikulum 2006 terdapat lebih dari dua SK untuk setiap jenjang kelas untuk seluruh mata pelajaran Pendidikan Agama Islam plus rinciannya pada kelas dan pelajaran tertentu. Masing-masing SK sudah ditentukan mana yang untuk semester1 dan 2. Sementara itu, batasan semacam ini tidak ada pada kurikulum 2004,
Bila kita lihat dari beberapa aspek yang terdapat dalam KBK maupun KTSP, ada kesamaan antara keduanya. Kesamaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1.Pendekatan pembelajaran berorientasi pada kompetensi (competence based approach).
2.Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
3.Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
4.Penilaian memperhatikan pada proses dan hasil belajar (authenticassessment).
5.Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsure edukatif.
Walau dalam beberapa aspek diatas antara KBK dan KTSP sama, namun dalam beberapa aspek lain ada perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat pada:
1.Prinsip-prinsip pengembangan dan pelaksanaan kurikulum
Ada perbedaan prinsip-prinsip yang dipakai dalam perkembangan dan pelaksanaan KBK dan KTSP.
2.Struktur kurikulum
Ada perbedaan antara struktur kurikulum KBK dengan KTSP, sebagai contoh dalam kurikulum 2004, mata pelajaran pengetahuan social dan Kewarganegaraan digabung, namun dalam kurikulum 2006 dipisah lagi. kemudian dalam kurikulum 2004 MA, pelajaran Pendidikan Agama Islam semuanya diajarkan mulai dari kelas X sampai XII, tetapi dalam kurikulum 2006 pelajaran SKI hanya diajarkan dikelas XII saja, dan pelajaran Aqidah Akhlak hanya diajarkan dikelas X dan XI.
3.SK dan KD
Sebagaimana diuraikan diatas, bahwa SK dan KD yang terdapat dalam SI merupakan penyempurnaan dari SK dan KD yang terdapat pada KBK. Dalam kurikulum 2006 ada pemindahan KD juga ada penambahan baik SK maupun KD, hal ini dilakukan sebagai penataan kembali dari SK dan KD dalam kurikulum 2004. Dalam KBK tidak hanya SK dan KD saja yang ditentukan oleh pusat, tetapi juga Materi Pokok dan Indikator Pencapaian. Berbeda dengan KTSP, pemerintah pusat hanya menentukan SK dan KD saja, sedangkan komponen lain ditentukan oleh guru dan sekolah.
A.Beberapa Permasalahan Dalam Peralihan Dari KBK Ke KTSP
Seperti diuraikan di atas, bahwa ada beberapa perbedaan antara KTSP dengan KBK, diantaranya adalah dalam hal struktur kurikulum, baik di tingak SD/MI, SMP/MTs, atau di tingkat SMA/MA. Yang perubahan strukturnya dirasakan banyak adalah di tingkat SMA/MA. Sementera sosialisai dan panduan KTSP belum merata. Apalagi untuk Standar Isi (SK dan KD) mata pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk Madrasah Aliyah sulit didapat, entah apakah memang DEPAG RI belum mengeluarkan standar isi tersebut atau sosialisasinya yang belum merata.
Keadaan seperti ini membingungkan sekolah dan guru-guru, sebenarnya mata pelajaran apa saja yang harus dipelajari anak dalam KTSP. Di satu sisi sekolah dituntut untuk menyusun dan melaksanakan KTSP, di sisi lain sosialisasi kurikulum baru ini belum merata dan maksimal, selain itu perangkat untuk menyusun KTSP belum semuanya tersedia, dan belum didistribusikan di sekolah-sekolah. Banyak kasus dibeberapa sekolah, ada beberapa mata pelajaran yang diajarkan tetapi ketika UAS tidak diujika, begitu juga sebaliknya. Selain itu format buku raport yang berubah-ubah, hal ini tentu membuat semakin bingung pihak sekolah dan guru-guru, apa yang di inginkan pemerintah dengan KTSP ini.




























BAB VI
STANDAR ISI

Apakah itu standar?
Standar dalam UUSPN No. 20 tahun 2003 diberi makna kriteria minimal. Standar berarti batas, patokan, syarat yang harus dicapai dalam proses peningkatan mutu. Batas-batas itu harus terukur sehingga harus jelas indikatornya.
Menurut Douglas (2002:7) standar itu aturan permainan yang terbuka. Digambarkan seperti pada saat anak-anak bermain congklak, salah satu anak berteriak: Kamu bohong! Dalam aktivitas anak-anak terdapat standar permainan. Standar itu pasti, misalnya dalam standar batas nilai minimal membantu siswa mencapai target. Standar itu ukuran keahlian atau kompetensi. Standar itu prestasi yang patut dicontoh. Standar itu tantangan. Standar itu hasil kesepakatan. Ditegaskan pula bahwa dari hasil studi mengenai pendidikan baik dilihat dari prespektif teoritis maupun politis, Douglas menyatakan bahwa standar adalah efektif. Berkenaan dengan efektivitas menurut Osborne dan Gaebler (1999) selalu mendatangkan hasil yang lebih baik. Abin Syamsudin (1999:20) mendefinisikan bahwa efektif pada dasarnya menunjukan ukuran tingkat kesesuaian antara hasil yang dicapai (achievements, observed outputs) dengan hasil yang ditetapkan terlebih dahulu. Berdasarkan itu, maka standar adalah kriteria minimal yang harus dicapai yang ditetapkan pada saat menyusun perencanaan.
Bagaimana menerapkan standar?
Penerapan standar berarti menerapkan manajemen scientific. Jadi, memerlukan langkah investigasi mengenai berbagai fenomena melalui kegiatan observasi dan analisis empiris mengenai berbagai peristiwa yang terukur. Memerlukan pemahaman mengenai tujuan yang hendak dicapai. Perlu menetapkan definisi proses pekerjaan. Perlu mengenali batas-batas pekerjaan dengan jelas. Menerapkan standar memerlukan pemahaman teori yang mendasari pekerjaan dan keterampilan, mengaplikasikan teori dalam pekerjaan sehari-hari. Berkaitan dengan aplikasi teori berarti pengelola perlu memahami perilaku yang diukur. Penerapan standar memerlukan penguasaan menjabarkan definisi konsep ke dalam definisi oprasional (http://www.wikipedia. org/ wiki/ oprasional).
Penerapan standar berdasarkan definisi dan prosedur di atas meliputi pentahapan 10 langkah berikut:
1. Memilih teori yang mendasari pekerjaan
2.Memahami bagaimana menerapkan teori pada pelaksanaan pekerjaan
3.Mendefinisikan pekerjaan
4.Menentukan tujuan pekerjaan dengan jelas
5.Menjabarkan definisi konsep ke dalam definisi operasional
6.Menentukan indikator atau perilaku yang menjadi ukuran
7.Menentukan ukuran, batas, patokan, kriteria, syarat minimal atau batas ketercapaian tujuan
8.Melaksanakan observasi dan analisis atau menghimpun data ketercapaian tujuan
9.Mengolah data ketercapaian
10.Menetapkan batas pencapaian terhadap tujuan yang diharapkan
Uraian di atas menegaskan pentingnya data, mencatat data, mengolah data, dan menafsirkan data yang terkait pada pemenuhan batas yang ditetapkan.
Menerapkan Standar Isi dan Standar Proses
Penetapan standar terkait pada tiga masalah utama yang melekat pada sistem pengelolaan pendidikan. Permasalahan itu sebagaimana dirumuskan Fitzgibbons. Pertama, manusia seperti apa yang ingin dikembangkan melalui proses pendidikan? Kedua, apa yang harus diberikan? Ketiga, bagaimana memberikannya? (Supandi 1988: 16).
Tujuan adalah menentukan seluruh proses kegiatan. Kejelasan kompetensi lulusan merupakan syarat mutlak. Secara operasional pencapaian tujuan harus terdeskripsikan dan terukur dalam perbuatan siswa dalam kelas dan hasil pekerjaan mereka yang dipamerkan. Hubungan antara deskriptor kinerja siswa dengan tujuan tergambar dalam diagram standar.
Di antara pergerakan mutu pendidikan, pemerintah telah menetapkan Standar Nasional Pendidikan (SNP), sebagai acuan bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia. SNP merupakan criteria minimal tentang system pendidikan di saluruh wilayah hokum Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat.
Standar Nasional Pendidikan yang telah ditetapkan pemerintah mencakup standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Dari delapan standar tersebut, yang telah dijabarkan dan disahkan penggunaannya oleh Mendiknas adalah standar isi dan standar kompetensi lulusan.
Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam criteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar Isi memuat kerangka dasar, struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik.


BAB VII
STRUKTUR KURIKULUM

1.Struktur Kurikulum Pendidikan Umum
Struktur kurikulum pendidikan umum terdiri dari struktur kurikulum SD/MI, struktur kurikulum SMP/MTs, dan struktur kurikulum SMA/MA.
a.Struktur Kurikulum SD/MI
Struktur kurikulum SD/MI meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama enam tahun kelas I sampai kelas VI. Struktur kurikulum SD/MI disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajar dengan ketentuan sebagai berikut :
1.Kurikulum SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan local dan pengembangan diri. Muatan local merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan cirri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan local ditentukan oleh satuan pendidikan.
Pengenbangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus di asuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikann kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh komselor, guru, atau tenaga kependidikan yang yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.
2.Substansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SD/MI merupakan “IPA terpadu” dan “IPS terpadu”.
3.Pembelajaran pada kelas I s.d III dilaksanakan melalui pendekatan tematik, sedangkan pada kelas IV s.d VI dilaksanakan melalui pendekatan mata pelajaran.
4.Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran di alokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per mingggu secara keseluruhan.
5.Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 35 menit.
6.Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.
Struktur kurikulum SD/MI adalah sebagai berikut.
DALAM BENTUK TABEL





































BAB VIII
STANDAR KOMPETENSI LULUSAN (SKL)
BAHASA INDONESIA
Berikut ini kutipan Standar Kompetensi Lulusan Ujian Nasional 2008, untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMA/MA (Bahasa). Standar ini dikutip dari lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no. 34, tanggal 5 November 2007. Penulis sajikan dalam bentuk uraian.
1.MEMBACA
Memahami secara kritis berbagai jenis wacana tulus/teks nonsastra dan nonteks (berbentuk grafik, table) artikel, tajuk rencana, laporan, karya ilmiah, teks esai, biografi, pidato, berbagai jenis paragraph (naratif, deskriptif, argumentative, eksposisi dan persuasive).
Menyerap informasi berbagai ragam teks bacaan nonsastra dan sastra dengan berbagai teknik membaca, mencakup:
Isi tersurat dan tersirat berbagai teks bacaan (table/grafik, laporan, artikel, tahuk rencana, karya ilmiah, teks pidato, dan berbagai jenis paragrar)
Pertanyaan isi dan masalah berbagai teks bacaan
Ide pokok dalam teks bacaan
Fakta dan opini dalam teks bacaan
Rangkuman teks isi bacaan, table, dan grafik
Isi buku biografi tokoh (yang diteladani)
Simpulan isi artikel, tajuk rencana, teks pidati, laporan, teks esai, biografi dan berbagai paragraph
Kalimat utama dan kalimat penjelas
Rangkuman paragraph
Persamaan topic dua teks
Perbedaan penyajian dua teks
Kalimat berupa alasan dalam paragraph argumentasi
2.MENULIS
Mengungkap gagasan,pendapat, perasaan, informasi dalam bentuk teks naratif, deskriptif, eksposisi, argumentasi, persuasive, teks pidato, artikel, proposal, surat dinas, surat dagang, rangkumman, ringkasan, notulen, laporan, dan karya ilmiah dengan mempertimbangan kesesuaian isi dengan konteks, kepauan, ketepatan struktur, ejaan, pilihan kata, dan menyunting berbagai jenis wacana tulis.
Mengungkapkan pikiran, informasi, pengalaman, dalam berbagai wacana/teks tulis, berupa:
Penyusunan dan pengembangan kerangka, isi paragraph naratif, deskriptif, eksposisi, argumentative, persuasive, artikel, teks pidato, proposal, karya ilmiah (termasuk daftar pustaka dan catatan kaki), dan berbagai surat resmi (surat dagang, surat kuasa, surat lamaran pekerjaan, dan surat dinas)
Simpulan paragraph induktif dan deduktif
Penulisan paragraph pola induktif dan deduktif, laporan diskusi, notulen rapat, resensi memo, buku fiksi/nonfiksi dan karya ilmiah.
Penyusunan kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraph/pargraf kompleksitas.
Kalimat topic/kalimat penjelas dalam berbagai jenis paragraph, surat teks pidato (melengkapi bagian wacana yang rumpang)
Pelengkapan berbagai teks pidato, berbagai jenis surat, dan unsure-unsur karya ilmiah.
Penyuntingan/perbaikan kesalahan isi dan bahasa dalam teks mencakup penggunaan: kata baku/tidak baku, istilah, frasa, kata, berimbuhan, kosakata, pilihan kata, struktur kalimat, dan EYD.
Pelengkapan berbagai wacana rumpang dengan kosakata, kata berimbuhan, istilah, frasa, kata penghubung, kalimat deskripsi sesuai gambar.
Kelanjutan paragraph (deskriptif, persuasive, argumentative, silogisme, analogi, dan generalisasi)
Kalimat sesuai topic.
Rangkuman diskusi dalam notulen
Kelengkapan unsure karya tulis/ilmiah.
3.KEBAHASAAN
Menguasai berbagai komponen kebahasaan dalam berbagai bentuk tulisan.
Memahami dan menggunakan berbagai komponen kabahasaan, mencakup:
Jenis frasa dan klausa, struktur kalimat, kata berimbuhan, dan kata mejemuk
Perubahan makna kata dan relasi makna (makna konotatif dan denotative, gramatikal dan leksikal, kias dan lugas, umum dan khusus)
 Perubahan, pergeseran makna kata, dan hubungan makna kata
Ragam bahasa baku dan tidak baku
Melengkapi kalimat rumpang/paragraph dengan kata baku, kata ulang kata berimbuhan, frasa klausa, jenis kata, kata majemuk
Pola kalimat.















BAB IX
MUATAN LOKAL

A.Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal
Akhir-akhir ini, pendidikan nasional sedang dihadapkan pada berbagai perubahan. Dari berbagai factor yang mempengaruhinya tidak ada yang lebih mendasar dibandingkan dengan perubahan yang terjadi dalam kurikulum. Perubahan dalam kurikulum telah berpengaruh secara langsung terhadap pemerataan pendidikan, dan distribusi sumber belajar, serta sarana dan prasarana pendidikan.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan memiliki kedudukan yang sangat sentral dalam seluruh kegiatan pembelajaran, yang menentukan proses dan hasil belajar. Mengingat pentingnya peranan kurikulum dalam pembelajaran, serta dalam pembentukannkompetensi dan pribadi peserta didik dan dalam perkembangan kehidupan masyarakat pada umumnya, maka pembinaan dan pengembangan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan, tetapi memerlukan landasan yang kuat berdasarkan hasil-hasil pemikiran dan penelitian mendalam demikian halnya dengan pengembangan kurikulum muatan local.
Dimasukkannya muatan local dalam kurikulum pada dasarnya dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia memiliki beraneka ragam adat istiadat, kesenian, tata cara, tata karma pergaulan, bahasa dan pola kehidupan yang diwariskan secara turun temurun deri nenek moyang bangsa Indonesia. Hal tersebut tentunya perlu dilestarikan dan dikembangkan, agar bangsa Indonesia tidak kehilangan cirri khas dan jati dirinya. Upaya menjaga ciri khas bangsa Indonesia harus dimulai sedini mungkin pada usia pra sekolah kemudian diintensifkan secara formal melalui pendidikan di sekolah dasar, di sekolah menengah, sampai perguruan tinggi. Dengan demikian proses pendidikan tidak hanya menyajikan bidang studi-bidang studi yang biasa ditayangkan dalam jadwal pelajaran, tetapi tugas terpenting adalah mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik melalui proses berpikir yang efektif dan efisien (Renik and Klopfer, 1989:1-3).
Sekolah sebagai tempat berlangsungnya proses pendidikan merupakan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, program pendidikan di sekolah perlu memberikan wawasan yang luas pada peserta didik tentang karakteristik dan kekhususan yang ada di lingkungannya. Pengenalan keadaan lingkungan alam, social dan budaya kepada peserta didik di sekolah memberikan kemungkinan kepada mereka untuk akrab, dan terhindar dari keterasingan terhadap lingkungannya. Pengenalan dan pengembangan lingkungan melalui pendidikan diarahkan untuk menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pada akhirnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik. Dalam kerangka inilah perlunya dikembangkan kurikulum muatan local.
1.Konsep Dasar
Kurikulum muatan local terdiri dari beberapa mata pelajaran yang berfungsi memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menumbuhkembangkan pengetahuan dan kompetensinya sesuai dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan.
Kurikulum muatan local adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran yang ditetapkan oleh daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (Depdikbid dalam E. Mulyasa, 1999:5).
Penentuan isi dan bahan pelajaran muatan local didasarkan pada keadaan dan kebutuhan lingkungan, yang dituangkan dalam mata pelajaran dengan alokasi waktu yang berdiri sendiri. Adapun materi dan isinya ditentukan oleh satuan pendidikan, yang dalam pelaksanaannya merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah.
Keadaan daerah adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tertentu yang ada dasarnya berkaitan dengan linkungan alam, lingkungan social dan ekonomi, serta lingkungan budaya. Sedangkan kebutuhan daerah adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di suatu daerah, khususnya untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat sesuai dengan arah perkembangan serta potensi daerah yang bersangkutan.
Kebutuhan daerah tersebut misalnya kebutuhan untuk:
a.Melestarikan dan mengembangkan budaya daerah yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat.
b.Meningkatkan kemampuan untuk mendongkrak perekonomian daerah.
c.Meningkatkan penguasaan bahasa asing (Arab, Inggris, Mandarin, dan Jepang) untuk mempersiapkan masyarakat dan individu memasuki era globalisai.
d.Meningkatkan life skill yang menunjang pemberdayaan individu dalam melakukan pembelajaran lebih lanjut.
e.Meningktkan kemampuan berwirausaha untuk mendongkrak kemampuan ekonomi masyarakat, baik secara individu, kelompok maupun daerah.
2.Tujuan Kurikulum dan Pembelajaran Muatan Lokal
Secara umum muatan local bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap hidup kepada peserta didik agar memiliki wawasan yang mantap tentang lingkungan dan masyarakat sesuai dengan nilai yang berlaku di daerahnya dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional (Depdiknas, 2006).
Lebih lanjut dikemukakan, bahwa secara khusus pengajaran muatan lokal bertujuan agar peserta didik:
a.Mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, social dan budayanya.
b.Memiliki bekal kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya maupun lingkungan masyarakat pada umumnya.
c.Memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan-aturan yang berlaku di daerahnya, serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunan nasional.

Pemahaman terhadap konsep dasar dan tujuan muatan lokal diatas, menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum muatan local pada hakekatnya bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara peserta didik dengan lingkungannya (E. Mulyasa,1999)
3.Kedudukan Kurikulum Muatan Lokal
Kurikulum muatan local merupakan satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan dari kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Kurikulum muatan local merupakan upaya agar penyelenggaraan pendidikan di daerah dapat di sesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan nasional, sehingga pengembangan dan implementasi kurikulum muatan local mendukung dan melengkapi KTSP.
Mengacu pada struktur kurikulum dalam standar isi, alokasi waktu untuk mata pelajaran muatan local di setiap jenjang pendidikan hamper sama 2 jam pelajaran, hanya berbeda waktunya untuk masing-masing jenjang. Hal tersebut dapat dipahami sebagai berikut:
a.Jenjang Pendidikan Dasar
1)SD/MI/SDLB, masing-masing 2 jam pelajaran per minggu (1 jam pelajaran = 35 menit)
2)SMP/MTs/SMPLB, masing-masing 2 jam pelajaran per minggu (1 jam pelajaran = 40 menit)
b.Jenjang Pendidikan Menengah
1)SMA/MA/SMALB, masing-masing 2 jam pelajaran per minggu (1 jam pelajaran = 45 menit)
2)SMK/MAK, masing-masing 2 jam pelajaran per minggu (1 jam mata pelajaran = 45 menit dan durasi waktu 192 jam)

Adapun kegiatan belajar mengajar efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester), baik untuk SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, maupun SMK/MAK pada umumnya berkisar 34 sampai 38 minggu. Hal ini bisa dipelajari lebih lanjut dalam kalender pendidikan, dan dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kegiatan di satuan pendidikan masing-masing.
Memahami susunan program diatas, Nampak bahwa muatan local pada jenjang pendidikan dasar dan menengah merupakan mata pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik di setiap tingkat kelas. Adapun mengenai isi dan pengembangannya merupakan kewenangan satuan pendidikan dan daerah masing-masing.
4.Ruang Lingkup
Ruang lingkup muatan local dalam KTSP adalah sebagai berikut:
a.Muatan local dapat berupa: bahasa daerah, bahasa asing (Arab, Inggris, Mandarin, dan Jepang), kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat (termasuk tata karma dan budi pekerti), dan pengetahuan tentang karakteristik lingkungan sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan.
b.Muatan local wajib diberikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, baik pada pendidikan umum, pendidikan kejuruan maupun pendidikan khusus.
c.Beberapa kemungkinan lingkup wilayah berlakunya kurikulum muatan local, adalah sebagai berikut:
Pada seluruh kabupaten/kota dalam suatu propinsi, khususnya di SMA/MA, dan SMK.
Hanya pada satu kabupaten/kota atau beberapa kabupaten/kota tertentu dalam suatu propinsi yang memiliki karakteristik yang sama.
Pada seluruh kecamatan dalam suatu kabupaten/kota yang memiliki karakteristik yang sama.
Setiap sekolah dapat memilih dan melaksanakan muatan local sesuai dengan karakteristik peserta didik, kondidi masyarakat, serta kemampuan dan kondisi sekolah dan daerah masing-masing.
5.Prosedur Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal
Pengembangan kurikulum muatan local di setiap daerah dan wilayah pada dasarnya dilakukan oleh Kepala Dinas Pendidikan tiap propinsi, dan Kepala Dinas Pendidikan tiap kota dan kabupaten, dengan prosedur sebagai berikut:
a.Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal di tingkat propinsi:
Langkah yang harus dilakukan dalam pengembangan kurikulum muatan local tingkat propinsi adalah sebagai berikut:
1)Mengkaji kelengkapan mata pelajaran muatan local yang diusulkan oleh setiap kota/kabupaten dan kecamatan.
2)Menentukan mata pelajaran muatan local yang layak untuk dilaksanakan di wilayah yang bersangkutan, berdasarkan usulan dari tiap-tiap kabupaten/kota, dengan berbagai pertimbangan dari tim pengembang kurikulum (TPK) muatan local tingkat propinsi.
3)Memberlakuan kurikulum muatan local sesuai dengan butir b) melalui surat keputusan Kepala Dinass Pendidikan Propinsi. Dalam keputusan tersebut diberikan keluwesan kepada masing-masing sekolah untuk memilih mata pelajaran muatan local yang telah ditetapkan, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan masing-masing. Di samping itu, pada propinsi tertentu ada mata pelajaran muatan local yang wajib dilaksanakan oleh setiap sekolah. Hal tersebut terutama berkaitan dengan bahasa daerah, dan bahasa asing di daerah wisata (misalnya di Bali, bisa diwajibkan muatan local Bahasa Inggris).
b.Pengembangan kurikulum muatan local tingkat kota/kabupaten.
Langkah-langkah pengembangan kurikulum muatan local tingkat kota dan kabupaten adalah sebagai berikut:
1)Mengkaji kelayakan usulan mata pelajaran muatan local dari setiap kecamatan.
2)Menentukan mata pelajaran muatan local yang layak untuk dilaksanakan di kota/kabupaten, berdasarkan usulan dari setiap kecamatan, dengan berbagai pertimbangan dari tim pengembang kurikulum  (TPK) muatan local tingkat kota/kabupaten, untuk duusulkan ke Dinas Pendidikan Propinsi.
3)Memilih dan mengembangkan mata pelajaran muatan local yang telah ditetapkan Kepala Dinas Pendidikan Propinsi untuk SMA, dsn oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten untuk SD dan SMP.
Dalam pelaksanaannya, di samping mata pelajaran muatan local wajib, setiap sekolah diberikan keluwesan untuk memilih dan mengembangkan mata pelajaran  muatan local yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan masing-masing.
c.Pengembangan kurikulum muatan lokal di tingkat kecamatan
Langkah-langkah pengembangan kurikulum muatan lokal tingkat kecamatan adalah sebagai berikut.
1)Mengusulkan jenis-jenis muatan lokal  kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota/ Kabupaten berdasarkan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
2)Memilih mata pelajaran muatan local yang di tetapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan kota/kabupaten, dan kepala dinas pendidikan kecamatan untuk dilaksanakan di sekolah masing-masing.
d.Pengembangan kurikulum muatan local tingkat sekolah.
Sekolah yang tidak dapat memilih mata pelajaran muatan local yang telah ditetapkan oleh Dinas Pendidikan dapat mengembangkan mata pelajaran muatan local sesuai dengan keadaan dan kebutuhan dan kemampuan masing-masing, dengan persetujuan Dinas Pendidikan.
Dalam hal ini kepala sekolah:
1)Mengusulkan jenis muatan local kepada Kepala Dinas Pendidikan kota/kabupaten melalui kepala dinas pendidikan kecamatan.
2)Menentukan pelajaran muatan local dengan persetujuan Dinas Pendidikan kecamatan dan kabupaten /kota.
3)Bersama-sama dengan Dinas Pendidikan kecamatan, menentukan mata pelajaran muatan local dengan persetujuan kabupaten/koota.
e.Pengembangan Silabus dan RPP
Pengembangan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) mata pelajaran muatan local dan perangkat kurikulum muatan local lainnya, dilakukan dengan mengacu pada Standar Isi yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Cara mengembangkan silabus dan RPP muatan local hamper sama dengan mata pelajaran lain, yang bisa dilihat kembali pada bab terdahulu yang membahas tentang pengembangan silabus dan RPP.
6.Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal
Berdasarkan pengalaman yang lalu, setiap daerah memiiki berbagai pilihan mata pelajaran muatan local baik untuk cakupan wilayah propinsi, kabupaten maupun kecamatan. Sehubungan dengan itu, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa tahap yang dilalui; baik pada tahap persiapan maupun pada pelaksanaannya.

a.Persiapan
Beberapa hal yang harus dilakukan oleh guru, dan tenaga kependidikan yang lain di sekolah pada tahap persiapan ini adalah sebagai berikut.
1.Menentukan mata pelajaran muatan local untuk setiap tingkat kelas yang sesuai dengan karakteristik peserta didik, kondisi sekolah, dan kesiapan guru yang akan mengajar.
2.Menentukan guru. Guru muatan local sebaiknya guru yang ada di sekolah, tetapi bisa juga menggunakan narasumber yang lebih tepat dan professional. Misalnya untuk kesehatan menggunakan tenaga kesehatan, pertanian menggunakan penyuluh pertanian, dan kesenian memanfaatkan seniman yang ada di lingkungan sekitar sekolah. Kehadiran mereka bisa part time, hanya membantu guru, tetapi bisa juga full time, langsung memegang dan bertanggungjawab terhadap mata pelajaran muatan local tertentu. Kegiatan ini bisa dikoordinir oleh kepala sekolah atau wakil kepala sekolah bidang akademis, bekerja sama dengan komite sekolah.
3.Sumber dana dan sumber belajar. Dana untuk pembelajaran muatan local dapat menggunakan dan BOS (bantuan operasional sekolah), tetapi bisa juga mencari sponsor atau kerjasama dengan pihak lain yang relevan. Bagi SMK dan SMA mungkin bisa menjual produk pembelajaran muatan local ke masyarakat, sehingga karenanyabiaya operasional bisa tertanggulangi. Misalnya keterampilan membuat wayang golek dari kayu di daerah Purwakarta Jawa Barat. Demikian halnya dalam kesenian, bisa membuat group tari atau group seni tertentu, yang sewaktu-waktu bisa ditampilkan kepada masyarakat.
Adapun sumber belajar muatan local dapat memanfaatkan bahan-bahan yang sudah ada (learning resources by utilitation), atau bisa merancang sendiri sesuai dengan keperluan (learning resources by design). Informasi tentang sumber belajar tersebut bisa diperoleh di kantor kecamatan, kelurahan, dan kantor desa. Informasi tersebut bisa juga dinyatakan kepada tokoh masyarakat nonformal, masyarakat dunia usaha, industry dan lembaga swadaya masyarakat.

b.Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaannya pembelajaran muatan local hamper sama dengan mata pelajaran lain, yang bisa dipelajari kembali pada bab dan sub bab terdahulu tentang pelaksanaan pembelajaran, yang dalam garis besarnya adalah sebagai berikut.
1)Mengkaji silabus
2)Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
3)Mempersiapkan penilaian

c.Tindak Lanjut
Tindak lanjut adalah langkah-lanhkah yang akan dan harus diambil setelah proses pembelajaran muatan local. Tindak lanjut ini erat kaitannya dengan hasil penilaian terhadap pelaksanaan pembelajaran. Bentuk tindak lanjut ini, bisa berupa perbaikan terhadap proses pembelajaran, tetapi bisa juga merupakan upaya untuk mengembangkan lebih lanjut hasil pembelajaran, misalnya dengan membentuk kelompok belajar, dan group kesenian. Tindak lanjut ini bisa juga dengan melakukan kerjasama dengan mastarakat, misalnya untuk memasarkan hasil (produk) pembelajaran muatan local. Dalam hal pemasaran hasil ini E. Mulyasa lebih menekankan kepada  SMA/MA, dan SMK, karena untuk tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah mungkin hasilnya belum layak dipasarkan, meskipun demikian tidak menutup kemungkinan untuk melakukannya. Semua itu merupakan kewenangan guru dan kepala sekolah, dan bisa juga bekerja sama dengan komite sekolah. Dengan demikian, melalui pembelajaran muatan local ini, kita berharap dapat melahirkan lulusan-lulusan yang kreatif, dan produktif, serta siap untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan Negara.
7.   Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran muatan local
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran muatan local;berkaitan dengan pengorganisasian bahan, pengelolaan guru, pengelolaan sarana pembelajaran, dan kerjasama antar instansi sebagai berikut.

a.Pengorganisasian bahan
Pengorganisasian bahan hendaknya:
1)Sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, naik perkembangan pengetahuan, cara berpikir, maupun perkembangan social dan emosionalnya;
2)Dikembangkan dengan memperhatikan kedekatan dengan peserta didik, baik secara pisik maupun psikis;
3)Dipilih yang bermakna dan bermanfaat bagi peserta didik dalam kehidu[an sehari-hari;
4)Bersifat fleksibel, yaitu member keleluasaan bagi guru dalam memilih metode dan media pembelajaran;
5)Mengacu pada pembentukan kompetensi dasar tertentu secara jelas.
b.Pengelolaan guru
Pengelolaan guru hendaknya:
1)Memperhatikan relevansi antara latar belakang pendidikan dengan mata pelajaran yang diajarkannya.
2)Diusahakan yang pernah mengikuti penataran, pelatihan atau kursus tentang muatan local
c.Pengelolaan sarana pembelajaran
Pengelolaan sarana pembelajaran hendaknya:
1)Memanfaatkan sumber daya yang terdapat dilingkungan sekolah secara optimal
2)Diupayakan dapat dipenuhi oleh intansi terkait.
d.Kerjasama antar instansi
Untuk mewujudkan kurikulum muatan local, perlu diupayakan kerjasama antar instansi terkait, antara lain berupa:
1)Pendanaan;
2)Penyediaan narasumber dan tenaga ahli;
3)Penyediaan tempat kegiatan belajar; dan
4)Hal-hal lain yang menunjang keberhasilan pembelajaran muatan lokal
MUATAN LOKAL SMA NEGERI 1 GRABAG
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mata pelajaran lain dan atau terlalu banyak sehingga harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan.
Muatan lokal merupakan mata pelajaran, sehingga satuan pendidikan harus mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis muatan lokal yang diselenggarakan. Satuan pendidikan dapat menyelenggarakan satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahwa dalam satu tahun satuan pendidikan dapat menyelenggarakan dua mata pelajaran muatan lokal Dengan mengacu pada substansi yang ada SMA Negeri 1 Grabag memberikan muatan lokal berdasarkan kebutuhan, budaya daerah, dan letak geografis yaitu daerah Jawa, serta berdasarkan keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 895.5/01/2005, 23 Februari 2005, maka muatan lokal yang ditetapkan di SMA Negeri 1 Grabag adalah Bahasa Jawa


BAB X

PENGEMBANGAN DIRI
A.Kegiatan Pengembangan Diri
Pengembangan diri merupakan salah satu komponen KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah , baik pada pendidikan umum, pendidikan kejuruan, maupun pendidikan khusus. Meskipun demikian, pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus di asuh oleh guru, tetapi bisa juga difasilitasi oleh konselor, atau tenaga kependidikan lain yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.
Dalam struktur kurikulum pendidikan umum, dijelaskan bahwa pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.
Sedangakan dalam bentuk kurikulum pendidikan kejuruan (SMK, dan MAK), di samping itu penjelasan diatas, dikemukakan pula bahwa kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan social , belajar dan pembentukan karir peserta didik. Pengembangan diri bagi peserta didik SMK/MAK terutama ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan bimbingn karir.
Dari uraian diatas, dapat ditarik beberapa benang merah berkaitan dengan pengembangan diri, sebagai berikut:
1.Kegiatan pengembangan diri dapat difasilitasi dan dibimbing oleh guru, konselor, atau tenaga kependidikan lain yang memiliki kemampuan dalam membantu pengembangan diri peserta didik.
2.Bagi sekolah yang sudah memiliki guru bimbingan dan konseling (BK), kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan oleh guru BK, tetapi bagi sekolah yang belum memiliki guru BK (terutama di sekolah dasar) dapat dilakukan oleh wali kelas , guru mata pelajaran agama, guru kesenian, atau guru lain yang sesuai.
3.Kegiatan pengembangan diri juga dapat dilakukan oleh kepala sekolah, atau tenaga kependidikan lain yang kompeten.
4.Kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan dalam bentuk bimbingan dan konseling atau dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.
5.Kegiatan pengembangan diri bagi peserta didik SMK/MAK lwbih ditekankan pada pengembangan kreativitas dan bimbingan karir.
6.Kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan dikelas, selama 2 jam pembelajaran, tetapi dapat juga dilakukan di luar kelas dengan kegiatan yang dilakukan equivalen 2 jam pembelajaran perminggu, atau kurang lebih 34 jam pembelajaran setiap semester.
7.Kegiatan pengembangan diri bisa bekerjasama dengan masyarakat, dunia usaha, dunia industry dan lembaga swadaya masyarakat.

Materi pengembangan diri dapat didiskusikan oleh kepala sekolah, guru, konselor, dan tenaga kependidikan lain di sekolah yang sesuai dengan keperluan dan kebutuhan peserta didik. Dalam diskusi ini bisa juga dilibatkan peserta didik, dan komite sekolah untuk memberikan masukan-masukan mengenai program perkembangan diri. Jika kegiatan pengembangan diri dilakukan di dalam kelas, maka topic-topik yang dapat diangkat antara lain sebagai berikut:
1.Mengisi waktu senggang
2.Menghadapi dan memecahkan masalah dalam kehidupan
3.Mengenal dan memahami diri
4.Remaja dan masalahnya
5.Bahaya pergaulan bebas
6.Memahami potensi diri
7.Belajar dari orang-orang sukses
8.Cara melaksanakan sholat kusyu’
9.Menjadi pengusaha yang amanah
Daftar topic tersebut hanyalah sebagai contoh, kepala sekolah, guru, konselor, dan tenaga kependidikan dapat memilh dan mengembangkan topic-topik yang sesuai dengan karakteristik peserta didik dan kondisi sekolah masing-masing.
Pengembangan diri, dapat dilakukan dengan metode diskusi, bermain peran, Tanya jawab, pemecahan masalah, dan metode lain yang sesuai. Adapun pelaksanaannya bisa dilakukan di kelas, di luar kelas, bahkan di luar sekolah.
Dalam pelaksanaannya, kegiatan pengembangan diri dapat dipadukan dengan muatan local, dengan cara memilih topic unggulan daerah (sebagai muatan local), yang sesuai dengan bakat, minat, dan potensi peserta didik (sebagai pengembangan diri). Semua itu sangat bergantung kepada kreatifitas guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan lain dalam mengelola dan mengembangkan program-program sekolahnya.


DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, Oemar. 2007. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Mulyasa, Enco. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Nasution, S. 2006. Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

SJ, J. Drost. Dari KBK sampai MBS, Jakarta: Penerbit Buka Kompas.

http://mjieschool.blogspot.com/2008/11/skl.bhs.html

http://grandmall10.com/2010/03/05/pekembangan-lurikulum

http://yapina.multiply.com/journal